Sabtu, 01 September 2012

Refleksiku: Peraturan Dalam Komunitas Sebagai Wahana Pendidikan

Inilah sepenggal refleksi saya yang lahir dari sela-sela keheningan dan jeratan ketidakberdayaan menghadapi peraturan-peraturan yang bagi saya terkadang tidak rasional dan tidak mendidik. Refleksi ini dihasilkan dari permenungan manusia tak sempurna yang memiliki iman, berjuta-juta kali lebih kecil dari biji sesawi.
Selamat membaca...




Peraturan adalah suatu kata yang kadang terdengar menakutkan, menggentarkan, mengikat, mengekang, dan mencengkeram kehendak dan kebebasan seseorang; sebaliknya peraturan juga menjadi kata yang menentukan, membebaskan, memberi semangat, mengatasi perlawanan, dan membuat orang semakin baik. Peraturan merupakan kaidah, norma, panduan, pedoman, dan tatanan yang wajib ada dalam suatu kelompok atau lembaga masyarakat. Peraturan menjadi identitas dari kelompok tersebut.

Peraturan memiliki tujuan yang baik. Aturan ada agar memberi manfaat serta meminimalisir tindakan negatif yang merugikan. Disadari atau tidak, peraturan merupakan sesuatu yang baru akan dirasakan manfaatnya kemudian, bukan saat itu juga. Oleh sebab itu, dalam menjalankan suatu aturan, dituntut sikap kepatuhan, kesetiaan, kepekaan, kesadaran, tanggung jawab dan kejujuran.

Sebuah peraturan sudah pasti akan menimbulkan berbagai sikap pro dan kontra. Sikap-sikap tersebut bukan saja terjadi satu kali, tetapi akan terus berlangsung dari ketika suatu peraturan baru direncanakan sampai pada penerapannya, pelanggaran, serta hukuman atas tidak pelanggaran tersebut. Hal ini menyadarkan kita, bahwa peraturan sekecil apapun itu mestilah dibuat sebaik-baiknya. Sikap yang berlawanan dengan aturan akan terus ada, tetapi tentunya harus diminimalisir.

Ada ungkapan “aturan dibuat untuk dilanggar”. Kita tidak menutup mata terhadap begitu banyaknya pelanggaran terhadap peraturan yang ada. Kecuali baru, sebuah peraturan pastilah sudah pernah dilanggar. Pelanggaran adalah hal yang sangat alamiah. Lalu jika aturan dibuat untuk dilanggar, pelanggaran dibuat untuk apa? Tujuan utama dari peraturan ialah sebagai alat untuk mengatur dan mendidik manusia. Jika tujuan ini dikesampingkan, aturan bukanlah lagi aturan.

Dalam refleksi ini, saya menemukan beberapa hal yang menurut saya penting untuk diperhatikan dalam membuat, menerapkan, dan mengevaluasi sebuah peraturan. Kiranya refleksi saya yang sederhana ini memberi sedikit nilai tambah bagi siapa saja yang membacanya. Di bawah ini saya sajikan lima poin refleksif saya tentang peraturan.

1. Peraturan Yang Mengikat

Sifat pertama yang tampak nyata dari peraturan ialah mengikat setiap individu. Orang yang telah masuk dalam sebuah lembaga tentu harus patuh terhadap aturan dalam lembaga tersebut. Pegawai di bidang pemerintahan mesti tunduk pada aturan birokrasinya. Seorang murid yang masuk ke sebuah sekolah, harus taat pada aturan yang ada di sekolah itu. Seorang satpam harus menaati aturan giliran jaga atau shift yang telah ditetapkan atasan, sama juga dengan karyawan toko yang selain menaati shift, juga harus mengikuti peraturan di tempat kerjanya. Seorang pendaki gunung yang sendirian di hutan pun masih tetap ingat dan taat pada aturan pendakian. Bahkan, seorang tukang sampah pun perlu taat pada aturan yang berlaku. Kenyataannya, peraturan selalu mengikat semua orang di mana pun mereka berada.

Dalam lembaga-lembaga agama terdapat aturan yang terkadang lebih kuat ikatannya dari pada lembaga lainnya. Hal ini disebabkan karena aturan agama memberi hukuman yang terasa lebih menakutkan terhadap pelanggar aturan. Hukuman itu disebut dengan dosa. Meskipun hukuman dari dosa itu tidak tampak nyata sekarang, namun dosa memberi nuansa tersendiri bagi hati seseorang. Orang yang berdosa melanggar peraturan agama akan terus dihantui oleh rasa berdosa sepanjang hidupnya. Hal tersebut mungkin akan terasa lebih menyakitkan dari pada hukuman fisik.

Intinya ialah peraturan mengikat setiap orang dan itu terkadang terasa begitu berat namun perlu. Aturan yang tidak mempunyai daya ikat tentu tak dapat lagi disebut sebagai peraturan, karena hanya akan menjadi pajangan dalam suatu kelompok atau komunitas. Aturan itu hanya sebatas tertempel di dinding dan tak lebih berharga dari lukisan murahan. Orang akan menjalankan aturan tersebut tanpa kesadaran akan tujuan baik dari dibuatnya aturan itu. Maka tentu saja pelanggaran terhadap aturan itu akan terus terjadi dan kemudian hukumannya akan menjadi tidak jelas dan tidak konsisten.

Lalu, bagaimana aturan dapat mengikat? Tak dipungkiri bahwa aturan yang keras dan ketat lebih terasa daya ikatnya dibandingkan aturan yang biasa-biasa saja. Aturan yang ketat memberi dampak hukuman yang lebih besar dibandingkan aturan yang longgar. Namun, menjadi pertanyaan lanjutan ialah apakah ketat dan longgarnya peraturan yang menentukan kualitas lembaga yang menjalankan aturan tersebut? Apakah orang dapat menjadi baik dengan aturan yang sangat ketat dan mengikat? Atau sebaliknya orang dapat merasa bosan dan seakan terpenjara?

Banyak komunitas manusia, lembaga, bahkan negara di dunia ini yang masih memiliki aturan dengan sifat yang sangat mengikat, sehingga pelaku pelanggar aturan akan ditindak dengan sangat tegas dan terkadang berlebihan. Hal ini tentunya menimbulkan pelbagai pelawanan yang dialatarbelakangi oleh semangat ingin bebas dari kukungan dan tatanan yang mengikat. Misalnya saja berbagai perlawanan terhadap pemerintah yang diktator di Mesir, Lybia, dan negara-negara lainnya yang harus dibayar dengan korban ribuan nyawa. Selain itu disekitar kita pun masih terdapat banyak pelanggar aturan yang kadang melakukannya bukan karena kebutuhan, keterpaksaan atau pelanggaran semata tetapi lebih dari itu merupakan bentuk protes terhadap aturan yang ada.

Berbagai hal di atas membuat kita sadar bahwa aturan yang mengikat selain memberi dampak yang baik ternyata juga membawa akibat buruk. Maka aturan yang memiliki daya ikat tidak ditentukan semata oleh si pembuat aturan, apakah ketat atau longgar, tetapi ditentukan oleh setiap orang berdasarkan kesepakatan bersama. Aturan barulah mengikat jika aturan itu diterima dengan baik dan dijalankan dengan sadar dan penuh tanggung jawab. Peraturan yang dilaksanakan itu dilandasi dengan rasa ingin menjadi yang baik, bahkan yang terbaik. Aturan itu dipercaya dapat menentukan kualitas diri, bukan sekedar dijalankan tanpa tujuan.

2. Peraturan Yang Membebaskan

Dalam dunia dewasa ini kita menyaksikan bahwa kebebasan dijunjung tinggi. Banyak negara yang mengutamakan paham liberal. Setiap orang, terserah keinginannya bebas melakukan apa yang dikehendakinya, mengekspresikan dirinya, dan berusaha mendapatkan apa yang dibutuhkannya sejauh tidak mengganggu orang lain dan melanggar hak asasi manusia. Paham kebebasan ini pun juga terangkum di dalam hak asasi manusia. Kenyataan ini menyajikan suatu cara berpikir baru. Orang tidak lagi peduli dengan orang lain, apa yang mau dibuat, diinginkan, dan tujuan tiap orang menjadi usahanya sendiri. Privasi sangat dijaga dan tidak ada orang yang mencampuri urusan orang lain. Singkatnya, setiap orang mengurus dirinya sendiri.

Hal ini menimbulkan realitas individualisme yang semakin mengakar dalam diri setiap manusia. Hidup saya adalah urusan saya. Hidup saya tergantung pada diri saya. Orang lain tidak berpengaruh bagi saya. Sekalipun ada pengaruhnya, itu hanya sebagai sarana bagi saya untuk berkembang, karena saya istimewa, saya bebas, saya memiliki hak untuk menciptakan peraturan sendiri. Maka kepercayaan kepada Sang Ilahi pun menjadi semacam pilihan. Penting atau tidak, terserah pribadi lepas pribadi.

Dalam dunia yang semacam ini, peraturan dirasakan sebagai suatu penghalang orang untuk mengembangkan dirinya. Paham kebebasan menjadi bertentangan dengan ketetapan peraturan yang memiliki daya ikat. Meskipun aturan masih dibutuhkan dalam skala kecil yang mengatur kebaikan semua orang, tetapi selebihnya merupakan tanggung jawab dan privasi pribadi manusia. Maka jika diteliti secara mendetail, orang tidak benar-benar bebas, tokh masih ada aturan.

Lalu muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebebasan yang sejati? Apakah terbebas dari segala bentuk peraturan apapun itu, ataukah kebebasan yang teratur? Cukup sulit menentukan hal ini. Kebebasan memang perlu tetapi peraturan juga masih sangat diperlukan. Dunia akan hancur tanpa peraturan dan juga demikian tanpa kebebasan.

Setiap orang tentu suka akan kebebasan dan selalu berusaha mendapatkannya, namun tentu saja orang harus berhadapan dengan aturan yang ada. Peraturan yang membebaskan sesungguhnya tidak harus bertentangan dengan kebebasan setiap orang, tetapi bagaimana aturan yang ditaati itu membuat orang merasa benar-benar bebas. Maka peraturan yang ada itu membuat orang sadar bahwa hanya dengan jalan melaksanakannya orang dapat memperoleh kebebasan yang sejati. Peraturan seperti itu tetaplah memiliki daya ikat, tetapi bukan ikatan yang mengekang. Ikatan itu juga bukan yang sangat longgar, tetapi ikatan yang memberi kepuasan kepada setiap orang dalam menjalankan aturan tersebut. Aturan tersebut disepakati bersama demi kebaikan bersama. Bukan dibuat oleh satu orang, dipaksakan bagi segelintir orang, dan tidak dijalankan dengan seimbang.

3. Peraturan Yang Rasional

Aspek berikut yang perlu diperhatikan dalam membuat sebuah peraturan ialah, apakah peraturan tersebut dapat diterima oleh akal sehat atau tidak. Peraturan yang logis adalah demi kebaikan manusia, bukan pertama-tama demi peraturan tersebut. Perkataan Yesus tentang hari Sabat bagi manusia adalah ungkapan yang menekankan rasionalitas dari hukum dan peraturan (Mrk 2:27).

Logis dan tidaknya peraturan juga dilihat dalam penerapannya. Biarpun peraturan sudah disusun dengan sebaik-baiknya tetapi akan tidak berguna jika tidak diterapkan dengan baik. Penerapan aturan itu logis dalam arti berjalan sesuai dengan yang disepakati. Peraturan berjalan sesuai aturan. Artinya, ada tuntutan-tuntutan tertentu terhadap aturan yang dibuat, apa yang ingin dicapai, kualitas apa yang ingin dikembangkan. Maka penerapannya pun haruslah seimbang dengan tujuan tersebut. Tujuan itu bukan milik si pembuat aturan saja, tetapi semua orang yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, orang melaksanakan aturan itu dengan suatu kesadaran dan pengertian yang mendalam akan tujuan yang hendak dicapai. Bukan asal ikut saja.

Jika terjadi pelanggaran terhadap aturan tersebut, maka tampaklah juga aspek rasional dan tidaknya. Pelanggaran selalu dilakukan dengan alasan tertentu. Pelanggaran pun tidak harus selalu harus mendapat hukuman langsung. Sebab musabab terjadinya pelanggaran mesti dilihat dan dipertimbangkan. Apakah terjadi dengan alasan yang masuk akal dan tujuan yang positif atau sebaliknya. Setidaknya hukuman dapat diminimalisir karena alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan tersebut. Maka dalam hal ini kekecualian dalam peraturan perlu ada karena aturan bukanlah baja yang keras, aturan tidak selamanya tak dapat diganggu gugat. Peraturan yang tidak lagi sesuai dapat diganti, peraturan yang tidak mencerminkan kebutuhan umum dapat dicoret, peraturan yang tidak memiliki tujuan jelas bisa diabaikan, dan peraturan yang tidak rasional sebaiknya dilanggar.

Hal yang juga dapat menjadi pertimbangan logis dan tidak adalah hukuman atas pelanggaran peraturan. Hukuman kepada pelanggar peraturan hendaknya mengutamakan prinsip keadilan. Artinya, hukuman seimbang dengan pelanggaran. Terkadang memang sulit menentukan apakah hukuman sudah seimbang dengan pelanggaran, sulit pula menemukan sebuah hukuman yang memuaskan hati dan diterima oleh semua orang, baik si pelanggar maupun orang yang dirugikan akibat pelanggaran itu. Hukuman yang seperti ini memungkinkan si pelanggar aturan sadar akan pelanggaran yang telah dibuatnya dan menerima hukuman dengan lapang dada sebagai jalan rekonsiliasi. Dengan begitu ada suatu kemungkinan bahwa ia dapat berusaha memperbaiki dirinya dan tidak lagi melakukan pelanggaran.

Dalam penerapan suatu peraturan, biasanya ada pengontrol atas pelaksanaan peraturan dan apakah terdapat tindakan pelanggaran atau tidak. Suatu hukuman yang lebih rasional ialah si pengontrol tidak memberi hukuman, tetapi si pelanggar akan dihukum oleh aturan itu sendiri. Artinya, jelas bahwa jika seseorang melanggar suatu peraturan, ia akan terjerat oleh peraturan lain yang hanya akan merugikan dirinya sendiri. Maka perlu juga suatu peraturan yang logis dan berkesinambungan.

Demikian mengenai peraturan yang rasional, kita melihat empat aspek rasional di atas, yakni aturan itu sendiri, penerapannya, pelanggaran terhadapnya, dan hukuman atas pelanggaran tersebut. Keempat aspek ini hendaknya menjunjung tinggi rasionalitas peraturan. Jika satu saja menyimpang, tak dipungkiri kemungkinan perlawanan dan pelanggaran terhadap peraturan akan semakin meningkat.

4. Peraturan Yang Dialogal

Dialog adalah percakapan, pembicaraan, perbincangan yang dilakukan oleh dua orang atau sekelompok orang. Pokok pembicaraan dalam dialog bisa apa saja. Dialog mencerminkan adanya interaksi antara seseorang dengan orang lain di luar dirinya. Secara lebih mendalam, dialog memungkinkan orang saling membuka hati, mengungkapkan dirinya kepada orang lain, dan mengundang orang lain masuk ke dalam diri dan kehidupan seseorang. Dialog jika dilakukan secara intensif, dapat sangat mempengaruhi orang. Orang dapat disadarkan, dipengaruhi, disugesti, bahkan diindoktrinasi hanya melalui dialog. Meskipun tampak sederhana, dialog dengan orang lain dapat memberikan pengaruh yang besar bagi seseorang.

Peraturan yang dialogal adalah peraturan yang dapat didialogkan. Hal ini mengindikasikan adanya kesepakatan bersama atas dasar dialog di dalam komunitas yang membuat peraturannya. Dialog itu terjadi dua arah dan mengandaikan tindakan mendengarkan dan didengarkan. Setiap pendapat yang disampaikan hendaknya didengarkan oleh semua orang. Pendapat atas peraturan itu pun mestinya mencerminkan nilai-nilai dalam beberapa poin yang telah dibahas di atas. Peraturan yang disusun itu mengungkapkan dengan jelas apa sebenarnya tujuan dari peraturan itu. Peraturan itu merupakan manifestasi dari kebutuhan komunitas, bukan kebutuhan pribadi.

Peraturan yang dibuat dengan dialog membuat seseorang merasa malu untuk melanggarnya. Aturan itu ditetapkan secara bersama dan disetujui bersama. Melakukan tindakan pelanggaran sama saja dengan menjilat kembali ludah sendiri. Dengan sendirinya orang akan merasa terhukum dan berjuang untuk tidak melanggar lagi.

Peraturan yang dialogal juga mengandaikan adanya ketaatan yang dialogal antara atasan dan bawahan. Ketaatan yang seperti ini mengandung suatu komunikasi yang terus-menerus antara yang mengontrol dan yang menjalankan peraturan tersebut. Ketaatan ini bukan berarti taat tanpa syarat, tetapi taat secara adil, jujur, dan rasional. Setiap pelanggaran selalu diselidiki alasan jelasnya. Apakah dapat diterima atau tidak. Pertimbangan-pertimbangan yang positif perlu diikutsertakan dalam penyelidikan terhadap pelanggaran itu, karena peraturan dibuat demi kebaikan bersama maka pelanggaran pun harus dilihat, apakah sedikitnya mengandung tujuan kebaikan atau tidak sama sekali.

Peraturan yang dialogal sama sekali tidak dimaksudkan sebagai tawar-menawar aturan, bukan juga tindakan melobi terhadap aturan, melainkan tuntutan rasional atas aturan tersebut. Kitab Suci mengisahkan bahwa orang Israel menganggap bahwa Taurat adalah hukum yang final dan tidak dapat diganggu-gugat. Pelanggaran terhadap Taurat, apapun bentuknya harus mendapat hukuman. Sebaliknya, Yesus membawa suatu perubahan. Hukum Taurat tidak dilihat-Nya sebagai yang utama, tetapi apakah hukum itu sudah sesuai dengan tujuan sesungguhnya, yakni kemuliaan Allah dan kesejahteraan manusia.

Manusia yang melanggar peraturan yang begitu vital dan berat hukumannya, seperti pelanggaran terhadap aturan hari Sabat dan perzinahan masih dapat diampuni oleh Yesus. Hal ini menunjukkan bahwa pengampunan atas kesalahan masih mungkin terjadi, asalkan ada komunikasi. Yesus berkomunikasi dengan orang berdosa, Yesus selalu menyempatkan diri berdialog dengan mereka, meskipun itu semakin menambah musuh bagi-Nya. Akan tetapi, dialog yang dilakukan Yesus pertama-tama adalah demi pertobatan orang berdosa itu. Dialog itu dilandaskan pada cinta kasih dan pengampunan sehingga si pendosa benar-benar sadar akan keberdosaannya dan berkomitmen untuk mengalami suatu metanoia.

5. Peraturan Yang Mendidik

Kita sampai pada poin terakhir refleksi tentang pelbagai aspek yang penting dari peraturan, yakni peraturan sebagai wahana pendidikan. Hal ini berarti peraturan bukanlah tujuan utama tetapi merupakan sarana pendukung untuk mendidik manusia. Mengapa manusia mesti dididik dengan peraturan?

Kita tidak dapat menyepelekan kenyataan bahwa sebagian besar manusia di dunia ini memiliki hidup yang tidak teratur. Banyak prinsip dan nilai kehidupan yang terlupakan. Manusia cenderung berusaha mendapatkan keinginannya tanpa peduli dengan orang lain. Di samping itu, orang lebih mengutamakan hasil dari pada proses. Terserah sesuatu mau berjalan seperti apa dan bagaimana, yang penting bahwa sesuatu itu berhasil dan mendatangkan keuntungan. Dalam menggapai hasil itu pun tak jarang orang bertindak secara tidak halal dengan bermental instan. Lihat saja, di mana-mana terjadi kasus orang yang memperjualbelikan ijasah, skripsi, dan tesis demi mendapatkan gelar. Terjadi juga di banyak tempat pedagang yang menggunakan bahan-bahan beracun untuk mengawetkan makanan, tidak peduli apa akibatnya bagi konsumen, yang penting ialah keuntungan dari penjualan. Masih banyak contoh lain yang menegaskan bahwa mental hidup manusia kini sedang merosot.

Satu pertanyaan, dalam dunia yang seperti ini tindakan apa yang harus dibuat oleh insan yang masih sadar akan pentingnya nilai-nilai kehidupan? Namun, jawaban atas pertanyaan itu masih terlampau jauh bagi kita. Yang perlu direnungkan ialah siapakah insan yang masih sadar dan apa yang mesti kita buat jika ingin terus sadar akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental dalam hidup?

Suatu cara membentuk insan-insan berkualitas dalam dunia yang minim kualitas ialah melalui pendidikan. Manusia hanya bisa dibentuk dengan jalan dididik, diasah, diasuh, dan diasih. Tanpa pendidikan, manusia tentu tak memiliki apa-apa. Manusia hanya akan mengandalkan instingnya dan tak lebih dari binatang. Binatang sebagai makhluk tak berbudi saja dapat menjadi pintar jika dilatih, apalagi manusia yang berbudi, tentu akan lebih brilian jika dilatih dan dididik secara lebih sempurna. Maka pendidikan penting, karena orang tidak dapat menjadi baik dengan sendirinya.

Pendidikan bukan hanya menyangkut mata pelajaran di sekolah, tetapi juga hal-hal lain yang menyertainya. Pendidikan juga termasuk peraturan-peraturan yang dijalankan dan menuntut orang untuk menataatinya. Ala bisa karena biasa. Hidup seseorang akan teratur dan berkualitas jika ia terbiasa untuk mengikuti peraturan. Seperti jalan raya dibuat agar kendaraan dapat melintas dengan teratur di atasnya. Kendaraan yang melenceng dari jalur atau berjalan tidak sesuai aturan tentu akan berisiko celaka. Kecelakaan terjadi karena orang tidak taat peraturan. Kecelakaan pun dapat menyeret orang lain yang sebenarnya taat pada aturan. Maka jelas bahwa peraturan mendidik dan membentuk manusia. Mengapa para tentara dan polisi memiliki mental yang kuat dan keberanian yang tinggi? Karena mereka telah sejak awal dilatih dengan peraturan yang ketat untuk menjadi pribadi yang berani.

Peraturan yang mendidik hendaknya menjadikan orang sadar bahwa dengan mentaatinya orang dapat terdidik. Setiap insan taat aturan perlu sadar bahwa kualitas bukan saja ditentukan oleh aspek intelektualnya saja, melainkan juga kedisiplinan diri, tingkah laku, dan tindakannya. Aturan yang mendidik bukanlah aturan yang menakutkan, tetapi aturan yang menantang orang untuk dapat menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Selain itu aturan yang mendidik dijalankan bukan agar mendapat pujian tetapi untuk hidup. Singkatnya, melalui aturan yang mendidik, orang dapat yakin bahwa ia berada dalam sebuah sekolah disiplin yang akan memberi kesuksesan bagi hidupnya, biarpun lambat tetapi pasti.

Demikian refleksi saya tentang peraturan sebagai wahana pendidikan. Semoga refleksi ini semakin menambah kualitas diri saya dan para pembaca sebagai insan yang mau taat pada aturan dan berjuang demi kualitas diri dan kebaikan semua orang. Sekian.

Mengenal Budaya Suku Dani - Papua

Satu lagi tulisan mengenai salah satu suku di Indonesia. Kali ini saya mengangkat tentang suku terbesar di Papua, yakni suku Dani. Orang bilang, "kalau berkunjung ke Papua, belum lengkap jika tidak singgah di Wamena". Wamena adalah wilayah di mana suku Dani berasal. Daerah ini merupakan jantung dari Papua yang terletak di puncak tertinggi Papua. Di bawah ini saya sajikan sedikit pengetahuan tentang suku Dani di Wamena, Papua. Semoga tulisan ini semakin menambah pengetahuan anda. Selamat membaca dan Wasalam...

A. Pendahuluan
Nama Dani sebagai nama suku diberikan oleh orang luar pada tahap-tahap awal suatu ekspedisi gabungan Amerika dan Belanda pada tahun 1926 pimpinan M.W. Striiling. Arti nama itu dan asal-usul kata itu tidak jelas, namun menurut catatan yang dikutip dari laporan Le Roux, nama Dani berasal dari bahasa Moni, yakni “Ndani” yang berarti “sebelah timur arah matahari terbit”. Para penduduk asli sendiri tidak tahu apa artinya kata itu dan tidak tahu siapa yang memberikan nama suku mereka. Masyarakat di sebelah lembah besar mengenal “Ndani” dalam pengertian “perdamaian”.
Dalam tradisi asli masyarakat Hubula[1] sendiri tidak pernah memberikan suatu nama untuk kelompok-kelompok sosial politik di wilayah lembah besar, tetapi setiap kesatuan politik memiliki nama-nama tertentu menurut aliansi dan konfederasi perang. Paham suku menurut masyarakat asli adalah sama dengan paham kesatuan aliansi dan konfederasi perang. Sering nama wilayah sama dengan aliansi dan konfederasi perang dan itu dimengerti oleh orang Hubula sebagai suku. Maka paham suku menurut pemahaman orang Hubula berbeda dengan pengertian modern, misalnya, aliansi Ohena sama dengan suku Ohena, demikian pula Kurima, Asolokobal, Wio atau Mukoko, Omarikmo.
Sejak dulu sebelum kontak dengan dunia luar, orang-orang yang bermukim di lembah besar ini memandang dirinya sebagai orang Hubula. Mereka menamakan dirinya Hubula untuk membedakan dirinya dengan orang-orang yang bermukim di luar lembah besar. Orang-orang di balik gunung sebelah utara dan timur disebut Yali, orang-orang di bagian selatan lembah dan di balik gunung disebut Kurima dan orang-orang di sebelah barat dan utara dari lembah besar disebut Palika. Namun nama Hubula untuk orang-orang yang bermukim di lembah besar tidak pernah dipakai, baik pada zaman ekspedisi, zaman misionaris, zaman pemerintah Belanda maupun zaman pemerintah Indonesia sampai sekarang. Nama Hubula sebagai nama suku untuk masyarakat asli di lembah besar ini mulai dipakai secara resmi setelah Kongres Papua tahun 2000 dan secara khusus sejak dibentuknya Dewan Adat Papua versi rakyat Papua pada 2001.[2]
Pokok-pokok yang diangkat oleh penulis dalam tulisan ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan suku Dani pada umumnya. Sesuai dengan rujukan etnografi yang dipakai oleh penulis maka pembahasan tulisan ini diawali dengan pembicaraan seputar lokasi, lingkungan dan demografi. Pembahasan berlanjut dengan asal mula dan sejarah suku Dani. Bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi yang paling vital juga dibahas pada bagian berikutnya. Pada bagian selanjutnya juga dibahas tentang sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi dan kesenian. Pendapat penulis mengenai situasi aktual suku Dani, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan pokok yang telah disebutkan menjadi bagian akhir dari pembahasan dalam tulisan ini.

1. Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi
a. Lokasi[3]
Suku Dani menyebar di tengah dataran tinggi jantung pulau Cenderawasih – Papua Barat, pada ketinggian sekitar 1600 meter di atas permukaan laut. Di tengah-tengah pegunungan Jayawijaya terbentang luas Lembah Balim yang sering dijuluki lembah agung (Grand Valley), sepanjang ±15 km, dan bagian yang terlebar berjarak ± 10 km. Lembah Balim ini dialiri oleh sungai Balim (Palim = potong, diindonesiakan menjadi Balim/sungai yang memotong lembah besar), yang bersumber di lereng pegunungan Jayawijaya dan mengalir ke arah timur. Pada 139° BT sungai ini membelok dan terjun bergabung dengan sungai Mamberamo. Lembah Balim memiliki luas sekitar 1200 km2. Secara geografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara 30.20º - 50.20º LS serta 137.19º sampai 141º BT. Batas-batas daerah Kabupaten Jayawijaya adalah sebagai berikut : Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, sebelah barat dengan Kabupaten Paniai, sebelah selatan dengan Kabupaten Merauke dan sebelah timur dengan negara Papua New Guinea, (BPS, Kabupaten Jayawijaya, 2007).[4]
b. Lingkungan Alam
Jayawijaya beriklim tropis basah. Hal ini dipengaruhi oleh letak ketinggian dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 17,50º C dengan curah hujan rata-rata 152,42 hari per tahun, tingkat kelembaban di atas 80%, angin berhembus sepanjang tahun dengan kecepatan rata-rata tertinggi 14 knot/jam dan terendah 2,5 knot/jam. Topografi Kabupaten Jayawijaya terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah yang luas. Di antara puncak-puncak gunung yang ada, beberapa di antaranya selalu tertutup salju, misalnya Pucak Trikora (4.750 m), Puncak Yamin (4.595 m) dan Puncak Mandala (4.760 m). Tanah pada umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit yang terdapat di daerah pegunungan, sedangkan di sekeliling lembah merupakan percampuran antara endapan lumpur, tanah liat dan lempung.
Di daerah ini terdapat banyak margasatwa yang aneh dan menarik yang hidup di tengah-tengah pepohonan tropis yang luas dan beraneka ragam. Hutan-hutan tropis ditumbuhi oleh berbagai tumbuhan dan hutan cemara, semak rhodedendronds dan spesies tanaman pakis dan anggrek yang sangat mengagumkan. Dekat dengan daerah salju di puncak-puncak gunung terdapat tanaman tundra. Hutan-hutan juga memiliki jenis-jenis kayu yang sangat beranekaragam. Hutan-hutan dan padang rumput Jayawijaya merupakan tempat hidup kuskus, kanguru, kasuari dan banyak spesies burung misalnya cenderawasih, mambruk dan nuri. Selain itu juga ada jenis kupu-kupu yang beranekaragam warna dan coraknya.[5]
c. Demografi[6]
Kekerabatan suku Dani bersifat patrilineal. Garis keturunan dihitung dari satu kelompok nenek moyang mulai dari ayah sampai enam atau tujuh generasi. Perkawinan orang Dani bersifat poligini, di mana seorang laki-laki memiliki beberapa orang istri. Keluarga batih ini tinggal di satu satuan tempat tinggal yang disebut silimo. Satu silimo terdiri dari beberapa bangunan tempat tinggal istri-istri dan satu tempat tinggal pria. Dalam satu silimo bisa terdapat beberapa keluarga batih. Sebuah desa Dani terdiri dari tiga sampai empat silimo yang dihuni delapan sampai sepuluh keluarga.
Masyarakat Baliem (Dani) senantiasa hidup berdampingan dan saling tolong menolong. Kehidupan kemasyarakatan suku Dani memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
* Masyarakat Dani memiliki kerja sama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong dalam menyelesaikan setiap pekerjaan. Misalnya dalam membuka kebun baru. Laki-laki mengolah tanah hingga siap ditanami dan setelah itu kaum wanita menanam dan menyianginya.
* Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang biasanya dipimpin oleh seorang penatua adat/kepala suku. Musyawarah tersebut berlangsung atas permintaan pemilik bangunan atau rumah yang akan dibangun. Musyawarah biasanya dilakukan di rumah laki-laki (honai) atau kadang kala di halaman depan rumah laki-laki dari klen pemilik rumah. Dalam musyawarah itu dibicarakan lokasi atau tempat mendirikan bangunan, pembagian tugas dan waktu pelaksanaannya.
Jumlah penduduk Suku Dani di Lembah Balim ± 60.000 orang. Sebagian besar orang Dani berambut keriting, berkulit cokelat tua, dengan tinggi badan rata-rata 1,60 m. Tetapi ada pula yang tingginya mencapai 1,70 m. Selain itu, ada yang tingginya 1,53 m. Namun, ada juga orang Dani yang berambut ombak dan berkulit terang, seperti sebagian orang yang ada di wilayah Kurulu.

2. Asal Mula dan Sejarah Suku Dani
Ada beberapa versi mitologi mengenai asal usul suku Dani. Asal usul itu sebagai berikut:[7]
· Suku Dani berasal dari keturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maima di Lembah Balim Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Wita dan Waya. Keturunan kedua orang ini membagi masyarakat Dani dalam 2 moety/paruh masyarakat yaitu keturunan Wita dan Waya. Oleh karena itu orang Dani dilarang menikah dengan kerabat satu moety.[8]
· Nenek moyang orang Dani keluar dari suatu tempat yaitu mata air “Seinma” di sebelah selatan kota Wamena dan sebelah utara dari kecamatan Kurima. Mereka keluar pada waktu itu dalam dua kelompok (moiety) yaitu Wita dan Waya[9].
· Manusia pertama yang hadir di dunia tinggal di gua Huwinmo (Maima) di lembah Pugima, dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Balim. Ia disebut Nmatugi. Kedatangannya ke gua Huwinmo disertai oleh beberapa binatang melata, beberapa jenis unggas, di antaranya ular dan burung. Menurut legenda, pada suatu waktu terjadilah pertengkaran antara burung dan ular. Mereka sepakat bahwa bila ular menang maka manusia tidak mati (abadi) dan hanya akan berganti kulit seperti ular untuk memperpanjang kehidupannya. Sebaliknya, jika burung yang menang maka manusia harus mengalami kematian. Ternyata burunglah yang memenangkan pertengkaran itu, maka manusia tidak abadi. Mereka yakin dan percaya akan kebenaran legenda asal mula tersebut, tetapi mereka pun masih berharap akan mendapatkan kehidupan yang abadi, tanpa penderitaan, penuh dengan kegembiraan, keadilan dan kemuliaan. Mereka percaya bahwa sakit dan kematian dapat mereka hindari apabila terjalin hubungan yang baik antara manusia dan nenek moyangnya.[10]

3. Bahasa
Bahasa adalah salah satu sarana komunikasi yang paling vital. Di mana pun manusia berada, pasti menggunakan bahasa. Bahasa membantu setiap orang untuk berelasi dengan orang lain. Apa pun bentuknya, bahasa yang dimiliki oleh sekelompok orang tetap menjadi sarana komunikasi bagi kelangsungan hidup kelompok tersebut. Bahasa yang digunakan secara umum oleh suku Dani (sebutan buat orang-orang yang ada di lembah, yang digunakan oleh orang-orang dari suku Moni; mereka menyebutnya Ndani, sedangkan orang gunung menyebutnya Hubula/lembah) adalah bahasa Dani (Hubula) yang termasuk dalam rumpun bahasa non-Austronesia.
Jika dilihat dari penuturannya maka bahasa di daerah Jayawijaya dapat digolongkan menjadi tiga rumpun bahasa yaitu:
a. Rumpun bahasa Ok (ada juga di Papua New Nugini) bahasa Ngalum di Oksibil dan Kiwirok sekitarnya dengan kira-kira 10.000 penutur.
b. Rumpun bahasa Mee (belum jelas bagaimana bahasa tersebut digunakan).
c. Rumpun bahasa Balim. Rumpun bahasa ini dapat digolongkan ke dalam tiga sub rumpun yaitu: sub rumpun Yali-Ngalik, sub rumpun Balim Pusat dan sub rumpun Wano.
Hanya saja ada sedikit perbedaan dalam penuturannya (dialek) yang dibagi atas tiga wilayah penuturan, yakni:
1. Lembah Balim bagian Timur (Hetigima/sebelah timur Kecamatan Wamena Kota dan sebagian besar dari Kecamatan Kurima),
2. Wamena, Pugima, Kurulu, Musatfak dan sekitarnya (Lembah Balim Tengah),
3. Kimbim dan sekitarnya (Lembah Balim bagian Barat).
Misalnya; Nayak (sapaan selamat buat laki-laki, wilayah 1); Narak (wilayah 2), Nore (wilayah 3). [11]
Sementara itu berdasarkan fonemik dari logat/dialek bahasa Dani yang diteliti oleh H.M Bromley[12] maka logat/dialek itu dibagi lagi menjadi sembilan jenis, yakni:
a. Logat Dani induk di daerah-daerah Lembah Balim Hulu.
b. Logat Dani bagian Barat di Lembah Ilaga, Sinak, Swart dan Hablifuri Hulu.
c. Logat Dani Wolo di sekitar sungai Wolo di lereng gunung Piramid.
d. Logat Dani Kimbim di sekitar sungai Kimbim dan Wosi.
e. Logat Dani Ibele sekitar sungai Bele.
f. Logat Dani Aikhe sekitar sungai Aikhe.
g. Logat Dani daerah Wamena dan sekitar sungai Uwe hingga kira-kira sungai Mugi.
h. Logat Dani Jurang di daerah yang menyempit di lembah sungai Balim.
i. Logat Dani Hablifuri di daerah Hablifuri.

4. Sistem Teknologi
Teknologi asli masyarakat suku Dani sangat sederhana. Alat-alat utama mereka terbuat dari batu yang gosok sampai halus, kayu dan sejenis bambu yang disebut lokop. Alat-alat yang terbuat dari batu antara lain kapak, pahat atau kapak tangan. Batu-batu dihaluskan sehingga berwarna hitam, kemudian dibuat tajam pada satu sisinya. Mata kapak dari batu dibentuk segi tiga dan diasah satu sisinya, kemudian diberi tangkai kayu. Tangkai dan mata kapak disambung dengan tali rotan yang dililitkan melintang dan saling tindih mengikat mata kapak pada tangkainya.
Masyarakat Balim mengenal bermacam-macam kapak, antara lain:
· Ewe Yake untuk membelah kayu,
· Yake keken untuk memotong,
· Yake Kewok (bentuknya seperti cangkul) untuk mengorek tanah.
Untuk keperluan berkebun selain yake kewok, mereka juga menggunakan tongkat penggali (digging stick) untuk membalik-balikkan tanah agar menjadi gembur. Lubang-lubang untuk memasukkan bibit dibuat dengan menggunakan kayu yang diruncingkan.[13] Tongkat penggali (digging stick) orang Dani panjangnya 1½-2 meter dan tajam pada kedua ujungnya. Tongkat ini digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas berat seperti membalik tanah. Tongkat untuk perempuan panjangnya 2-3 meter dan digunakan untuk penyiangan, penanaman dan pemanenan. Ada juga pisau bambu yang terdiri dari empat bagian bambu muda kira-kira 6-8 inci panjang dan cukup tajam untuk menyembelih daging, memotong rambut, dan lain sebagainya. Selain itu, ada juga pisau yang terbuat dari tulang rusuk babi.[14]
Orang Dani memiliki kantong berbentuk seperti jaring yang disebut noken. Noken terbuat dari serat pohon melinjo (Ganemo). Perempuan Balim pada umumnya mengenakan tiga lapis noken yang digantungkan dari dahi ke punggung. Noken pertama yang paling bawah berisi hipere, noken kedua berisi anak babi, dan noken yang ketiga berisi bayi sang ibu.[15]
Dalam masyarakat Dani juga ditemukan semacam dayung yang tampaknya digunakan sebagai sekop sederhana. Di Dani bagian Barat digunakan semacam dayung (eleebe) untuk menggali dan mengeluarkan hipere/hom yang ditimbun dalam abu panas. Selain itu, orang Dani juga menggunakan kayu yang dibelah bagian ujungnya dan berfungsi untuk memindahkan batu panas ke dalam lubang untuk memasak daging. Variasi yang kecil dari kayu penjepit ini digunakan di rumah untuk mengambil ubi (hipere) panas dari abu.[16]
Orang Dani juga memiliki berbagai peralatan lain, yakni:
- molige yaitu sejenis kapak batu yang ujungnya diberi besi, digunakan untuk menebang pohon;
- sege yaitu sejenis tugal, untuk melubangi tanah;
- korok yaitu parang untuk membersihkan ilalang;
- valuk yaitu sejenis sekop untuk mencangkul tanah;
- wim yaitu sebutan untuk busur;
- panah sege yaitu sebutan untuk berbagai benda yang ujungnya runcing.[17]
Alat lain yang biasa dibawa oleh para lelaki Dani di dalam noken adalah kotak peralatan untuk membuat api yang terdiri dari kayu kecil yang terbelah di bagian tengahnya, batu, dan gulungan tumbuhan merambat kering untuk menyulut api.[18]

5. Sistem Mata Pencaharian
Nenek moyang orang Dani tiba di Papua sebagai hasil dari suatu perpindahan manusia yang sangat kuno dari daratan Asia ke kepulauan Pasifik Barat Daya Irian Jaya. Kemungkinan pada waktu itu masyarakat mereka masih pra-agraris, yaitu baru mulai menanam tanaman dalam jumlah yang sangat terbatas.
Mata pencaharian pokok suku Dani adalah:
1) Bercocok tanam ubi kayu dan ubi jalar yang disebut hipere
Ubi Jalar (hipere) adalah tanaman terpenting dan utama. Mereka juga menanam keladi (hom), tebu (el), pisang (haki) dan berbagai jenis sayur mayur secara tumpang sari, misalnya, jagung, kedelai, buncis, kol, dan bayam, sebagai tanaman yang baru diperkenalkan dari luar daerah. Kebun-kebun milik suku Dani dibagi atas 3 jenis yaitu :
a. kebun-kebun di daerah rendah dan datar yang diusahakan secara menetap,
b. kebun-kebun di lereng gunung,
c. kebun-kebun yang berada di antara silimo.
Kebun-kebun tersebut biasanya dikuasai oleh sekelompok atau beberapa kelompok kerabat. Batas-batas hak ulayat dari tiap-tiap kerabat ini adalah sungai, gunung atau jurang. Dalam mengerjakan kebun, orang Dani masih menggunakan peralatan sederhana, seperti tongkat kayu yang berbentuk linggis (digging stick) dan kapak batu.
2) Beternak babi
Babi dipelihara dalam kandang yang bernama Wamai (Wam artinya babi; Ai artinya rumah). Kandang babi ini berupa bangunan berbentuk empat persegi panjang. Bagian dalam kandang ini terdiri dari petak-petak yang memiliki ketinggian sekitar 1,25 m dan ditutupi dengan bilah-bilah papan. Bagian atas kandang berfungsi sebagai tempat penyimpanan kayu bakar dan alat-alat kebun. Bagi suku Dani, babi berguna untuk dimakan dagingnya, darahnya dipakai dalam upacara magis, tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan, tulang rusuknya untuk pisau pengupas ubi, alat tukar, dan sarana menciptakan perdamaian bila ada perselisihan.

3) Berdagang
Suku Dani juga melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat terdekat di sekitarnya. Sistem perdagangan mereka adalah sistem barter sedangkan barang-barang yang dipertukarkan adalah kulit siput, noken, kapak batu, pita-pita yang dihiasi dengan siput kauri, batu untuk membuat kapak dan hasil hutan seperti kayu, serat, dan bulu burung.[19] Perdagangan ini terbatas antar klen dan dapat berkembang keluar apabila mereka mau menukarkan benda-benda mereka dengan sejenis kayu yang dipakai untuk membuat busur dan anak panah. Perdagangan ini juga hanya terbatas pada kebutuhan mereka sehari-hari.[20]

6. Organisasi Sosial
Organisasi kemasyarakatan pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan keturunan, dan berdasarkan kesatuan teritorial. Unit terkecil dari ikatan sosial masyarakat lembah Baliem adalah keluarga luas, yang biasanya terdiri dari tiga generasi dan bersifat patrilokal. Keluarga luas ini tinggal dalam satu sili dengan jumlah anggota pada umumnya belasan atau paling banyak sekitar dua puluhan. Di dalamnya biasa tinggal orang tua laki-laki, beberapa anak perempuan dan laki-laki generasi kedua beserta isteri dan anak-anak mereka. Kepala keluarga luas dipilih lewat musyawarah. Beberapa keluarga luas tergabung dalam klen kecil. Klen kecil ini bisa diisi oleh beberapa keluarga luas dari fam yang sama atau dari fam yang berbeda. Indikatornya adalah kepala klen kecil ini menguasai satu wilayah tanah tertentu dan biasanya tinggal dalam kesatuan pemukiman seperti kampung, yang dalam bahasa setempat disebut yukmo. Sebuah klen kecil merupakan kelompok kerja dalam bertani, khususnya pada pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan gotong-royong, seperti membersihkan lahan dan membuat pagar.
Lebih tinggi dari itu, ada klen besar yang merupakan gabungan dari klen-klen kecil dalam aliansi teritorial yang jelas. Fungsi utama dari organisasi sosial ini adalah sebagai aliansi untuk keperluan perang, kesatuan adat, terutama upacara-upacara adat yang besar seperti pesta babi. Setiap klen besar selalu memiliki honai adat.[21]
Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yang disebut Ap Kain yang memimpin desa adat Watlangka. Selain itu, ada juga 3 kepala suku yang posisinya berada di bawah Ap Kain dan memegang bidangnya sendiri-sendiri. Suku-suku itu adalah:
Ø Ap Menteg yaitu kepala suku perang yang memimpin desa adat Silimo Mabel. Di Silimo inilah disimpan benda-benda perang dan perdamaian.
Ø Ap Horeg yaitu kepala suku kesuburan yang memimpin desa adat Silimo Logo. Di Silimo inilah disimpan benda-benda kesuburan.
Ø Ap Ubalik yaitu kepala suku adat atau penyembuhan yang memimpin desa adat Silimo Dabi. Di silimo inilah disimpan benda-benda adat.[22]

7. Pandangan Suku Dani Terhadap Alam Semesta dan Sesama
Orang Dani memandang dunia mereka sebagai suatu alam semesta yang hidup. Seluruh alam semesta khususnya matahari diibaratkan sebagai seorang ibu. Pada waktu panen pertama sebuah kebun baru, mereka menyisihkan beberapa ubi yang besar untuk matahari. Di perkampungan Watlangka, terdapat batu-batu matahari, konon bahwa batu tersebut berasal dari matahari. Secara berkala mereka mempersembahkan seekor anak babi untuk matahari. Mereka yakin bahwa pada malam hari matahari kembali ke rumahnya di suatu lembah tertentu. Matahari dipandang sebagai seorang wanita, namun dipandang juga sebagai perlengkapan perang bagi laki-laki. Dikisahkan bahwa pada mulanya langit dan bumi terletak berdampingan, namun manusia pertama yaitu Nakmaturi yang serakah, menciptakan guntur dan memisahkan langit dari bumi. Meski demikian, matahari masih tetap bersama manusia. Semuanya menikmati perdamaian. Tetapi suatu waktu manusia mulai saling berkelahi. Matahari pun menarik diri, pergi ke langit dan tidak menghiraukan manusia lagi. Dia hanya memandang manusia dari atas sana.
Menurut orang Dani, tanah adalah milik bersama secara adat, walaupun dalam sistem kepemilikan bersama itu masih ada tuan-tuan tanah yang mempunyai wewenang khusus. Di dalam perang suku, tanah harus dipertahankan mati-matian dan tidak jarang terjadi bahwa tanah harus ditebus dengan darah. Jual beli tanah tidak dikenal suku Dani. Mereka menggunakan tanah secara bersama-sama.
Manusia pada mulanya juga hidup bersama dengan hewan. Namun, ketika manusia membagi-bagi hewan menurut jenisnya, marahlah hewan-hewan itu dan tidak mau hidup dengan manusia lagi. Hal ini tidak berlaku bagi burung-burung. Manusia tetap hidup berdampingan dengan mereka sehingga orang-orang Dani pantang memakan burung-burung tertentu.[23] Bagi orang Dani, babi adalah binatang peliharaan yang sangat penting. Babi selalu mewarnai pesta-pesta adat, khususnya pada saat pesta babi (Wam Mawe). Dalam pesta babi ini, diadakan berbagai acara yang merupakan unsur pokok dari pesta babi itu sendiri, misalnya, perkawinan massal, acara balas budi (bila seseorang mendapat kebaikan hati dari orang lain, khususnya pada waktu mengalami musibah, ia dapat membalas kebaikan itu pada saat pesta babi), dan inisiasi bagi anak-anak yang mulai menginjak dewasa. Pesta babi haruslah semarak, sehingga jauh sebelum acara pesta babi, orang tidak diperkenankan membunuh babi, sekalipun ada kematian. Surga digambarkan oleh suku Dani sebagai suatu keadaan yang penuh babi-babi besar dan petatas-petatas yang subur.
Selain itu, hutan-hutan yang berada di sekitar perkampungan atau di lereng-lereng bukit tidak boleh ditebang, bahkan kayu yang sudah kering dibiarkan busuk saja. Menurut mereka di dalam hutan-hutan itu berdiam jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal atau tempat kediaman nenek moyang mereka. Kayu yang dipergunakan untuk kebutuhan hidup harus dicari di tempat yang jauh.[24] Hal ini menunjukkan bahwa orang Dani sangat menghormati jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Sementara itu, pandangan orang Dani tentang sesama dapat dilihat dalam pembahasan mengenai sistem pengetahuan di bagian pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan hidup.[25]

8. Sistem Pengetahuan
Suku Dani merupakan salah satu suku yang mempunyai peradaban yang sangat tinggi. Hal itu bisa dilihat dari pengetahuan mereka untuk menciptakan sesuatu yang berguna dan membantu mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan mereka itu dapat dilihat dari kenyataan hidup seperti berikut ini.
a. Pembuatan pakaian tradisional (koteka, sali dan yokul)
Orang Dani tahu bahwa ada bagian tertentu dari tubuh yang harus ditutup, yakni bagian kemaluan. Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki sedangkan yokal untuk perempuan yang sudah menikah dan sali untuk gadis. Koteka (holim/horim) terbuat dari kulit labu air. Isi dan biji labu tua itu dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Ukurannya biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna pada saat bekerja atau upacara adat. Koteka yang pendek umumnya dipakai pada saat kerja sedangkan koteka yang panjang digunakan pada saat upacara adat. [26]
b. Pembuatan silimo (kampung)
Orang-orang suku Dani sudah mengetahui bagaimana cara membuat rumah sebagai tempat hunian yang baik dan aman. Hal ini dapat terlihat dari keahlian mereka dalam membuat silimo. Dengan demikian maka kita dapat menyimpulkan bahwa suku Dani tidak mengalami kehidupan nomaden.[27]
c. Pembuatan kebun
Hampir seluruh lembah dan lereng-lereng gunung digarap secara intensif dan efektif. Kebun-kebun dikelilingi oleh suatu jaringan drainase. Lereng-lereng gunung pun digarap dan dilengkapi dengan teras-teras. Tanamannya tumbuh subur di mana-mana. Hal yang amat mengherankan di lembah besar itu sejak dulu ialah ketelitian dalam membuat parit-parit dan kampung yang jarang dimiliki oleh orang-orang dari suku lain.[28]
Orang Balim umumnya dan suku Dani khususnya memiliki pengetahuan akan keutamaan-keutamaan hidup yang bernilai tinggi. Keutamaan-keutamaan itu ialah:
1) Relasi dengan sesama, dengan leluhur dan dengan alam sekitarnya. Relasi ini merupakan hal yang amat penting.
2) Membagi dengan orang
3) Kebersamaan: Orang Balim hidup bersama dalam kampung, rumah laki-laki (honai) atau rumah keluarga (ebeai) tanpa dinding pemisah dan ruangan pribadi. Mereka tidak memiliki banyak privacy namun sekaligus otonom dan bebas. Mereka biasa kerja bersama, masak bersama dan makan bersama. Justeru di sinilah letak kekuatan mereka yaitu kebersamaan.
4) Kesuburan manusia, hewan, tanah dan sebagainya merupakan hal yang amat diharapkan oleh orang Balim. Mereka akan berusaha memperoleh kesuburan itu dengan mentaati peraturan hidup yang diwariskan oleh para leluhur. Lemak babi merupakan lambang kesuburan mereka.
5) Bekerja termasuk nilai yang baik bagi orang Balim. Mereka menyadari bahwa segala kebutuhan tersedia di dalam tanah. Mereka harus bekerja keras untuk mengolah tanah itu. Dengan demikian maka orang Balim sejati sebenarnya tidak boleh mengemis. Mereka bangga kalau bisa mengurus dirinya secara mandiri. [29]

9. Sistem Religi[ 30]
Suku Dani sangat menghormati nenek moyangnya. Penghormatan mereka biasanya dilakukan lewat upacara pesta babi. Orang Dani beranggapan bahwa nenek moyangnya berasal dari daerah bumi sebelah timur yang disebut Libarek. Menurut mitologi Dani nenek moyang di Libarek berasal dari langit. Tetapi karena ada sebagian dari mereka yang sering mencari ubi, tali langit tersebut diputus dan mereka harus tinggal di bumi, bekerja keras menanam hipere (sejenis ubi jalar yang besar), dan beternak babi.
Orang Dani juga percaya pada roh yaitu roh laki-laki (Suanggi Ayoka) dan roh perempuan (Suanggi Hosile). Roh-roh ini menitis pada tumbuhan, hewan dan benda-benda. Roh orang mati, setelah meninggalkan tubuhnya tinggal di hutan.
Suku Dani mempercayai Atou, yaitu kekuatan sakti yang berasal dari nenek moyang yang diturunkan kepada anak laki-lakinya. Kekuatan sakti ini antara lain: kekuatan menjaga kebun, kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala, dan kekuatan menyuburkan tanah. Untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Lambang ini terbuat dari batu keramat berbentuk lonjong yang diasah hingga mengkilap.
Orang-orang Dani meyakini bahwa manusia, babi dan pohon kasuari bersaudara. Untuk setiap bayi yang lahir, ditanam satu pohon kasuari, sehingga pada saat kematiannya, ada persediaan kayu bakar untuk membakar mayatnya. Pohon kasuari yang termasuk keluarga pinus menurut kosmologi lokal bersaudara dengan babi sebab bulu-bulu anak babi yang masih kasar dan bercorak belang-belang menyerupai daun pohon kasuari. Pandangan inilah yang membuat perempuan Balim sangat akrab dengan babi.[31]

10. Kesenian
Kesenian masyarakat suku Dani dapat dilihat dari:
a. Cara membangun tempat kediaman mereka yaitu silimo yang terdiri dari beberapa bangunan:
o Honai, merupakan sebutan untuk rumah pada umumnya. Honai berasal dari kata hun yang berarti pria dewasa dan ai yang berarti rumah. Jadi secara harafiah, honai berarti rumah untuk pria dewasa. Honai berbentuk bulat, atapnya seperti kubah dari daun ilalang. Garis tengahnya bisa mencapai 5 sampai 7 meter.
o Ebeai yaitu rumah wanita. Ebe artinya tubuh atau pusat dan ai artinya rumah. Jadi secara harafiah ebeai artinya rumah tubuh atau rumah induk. Ebeai sama persis dengan honai, hanya garis tengahnya lebih pendek.
o Wamai artinya kandang babi. Wam artinya babi dan ai artinya rumah. Jadi secara harafiah wamai artinya rumah babi atau kandang babi. Wamai berbentuk persegi panjang dan disekat sebanyak jumlah ebeai. Wamai juga terletak dalam lingkungan silimo. Silimo sendiri berbentuk oval dan dipagari oleh pagar kayu.
b. Kerajinan tangan berupa anyaman kantong jaring penutup kepala, pengikat kepala dan pengikat kapak. [32]
c. Seni tari Balim, terdiri dari:
* Hunike, salah satu tarian yang dimainkan oleh satu orang atau beberapa orang secara bersama, berjejer dan terpisah dari kelompok pengiring lagu. Tarian ini paling sering dilakukan pada saat upacara perayaan kemenangan perang.
* Hologotiik, salah satu gerak tari yang diperankan dalam posisi berdiri atau melompat di tempat.
* Dipik/Walin, merupakan tarian rakyat yang dimainkan dengan cara membuat lingkaran dengan sebuah regu atau kelompok penyanyi berada di tengah. Tarian ini dilakukan pada saat pesta pernikahan, inisiasi, dan upacara lain yang dilaksanakan bersamaan dengan pembunuhan babi.
* Hulung, adalah tarian rakyat yang dimainkan secara beramai-ramai ke sana ke mari dalam jarak yang dekat sambil bernyanyi bersama. Tarian ini dilaksanakan pada saat upacara inisiasi bagi anak laki-laki, upacara pernikahan dan upacara mawe (pesta babi).
* Tem/Sekan, merupakan tarian pergaulan yang dilaksanakan oleh muda mudi di dalam honai dan dapur. Tari ini dimainkan dengan cara duduk berjejer saling berhadapan muka antara putera dan puteri sambil menyanyikan lagu-lagu rakyat.
* Hisilum, merupakan tarian pergaulan muda-mudi untuk mendapatkan jodoh. Gerakan tari ini menggunakan bahasa isyarat sambil menyanyi di tiap kelompok, baik kelompok pria maupun wanita dengan melambai-lambaikan tangan.[33]
d. Masyarakat Dani memiliki tiga macam lagu tradisional (etai), yaitu:
· Etai Ewe Etai, merupakan jenis lagu-lagu utama yang dinyanyikan baik pada acara-acara resmi maupun pada acara-acara tidak resmi. Lagu yang dinyanyikan dalam acara-acara resmi, misalnya: lagu kemenangan dalam perang (ap wataresik), lagu pada saat inisiasi (ap wayama), lagu saat pesta perkawinan (heugumo/heyokalma), lagu pada saat pesta mawe (wam eweakowa), dan lagu pada saat haid pertama bagi anak gadis Balim (he hotarlimo). Lagu yang tidak resmi biasa dinyanyikan spontan pada saat membuat honai dan membuka kebun baru.
· Etai Wene Pugut, merupakan salah satu bentuk lagu tradisional Balim yang dinyanyikan dengan saling berbalasan pantun/syair. Isinya adalah ungkapan perasaan emosional, kritikan-kritikan dalam kehidupan sehari-hari, pesan-pesan tertentu dan sebagainya. Etai wene pugut dinyanyikan pada saat pesta pernikahan (he yokal), pada saat pengusiran roh orang mati dari tubuh seseorang (hat waganegma), saat atraksi tukar gelang (sekan/tem kotilogolik), saat bersantai (heselum hagatilogolik).
· Etai Lee Wuni atau Dee Wuni. Lee berarti ratapan/tangisan dan Wuni berarti lagu, jadi lee wuni adalah lagu ratapan yang isinya mengandung syair-syair tentang peristiwa-peristiwa tertentu.
· Wesa Etai, yakni lagu yang berisikan doa-doa baik kepada leluhur maupun Tuhan.[34]
e. Jenis musik tradisional Jayawijaya dapat dibedakan atas beberapa jenis musik, yaitu:
· Musik Pikon, yaitu sejenis musik yang dihasilkan oleh alat musik tiup sekaligus bertali yang kalau ditiup sambil menarik tali tersebut akan menghasilkan tiga nada dasar yaitu Do, Mi, dan Sol.
· Musik Witawo, yaitu sejenis musik yang dihasilkan dari Lokop (sejenis bambu muda yang beruas-ruas), dimainkan dengan cara ditiup. Tinggi rendahnya bunyi sangat ditentukan oleh ukuran dari lokop; yang panjang menghasilkan bunyi yang rendah sedangkan yang pendek menghasilkan bunyi yang tinggi.
· Musik Aneletang, yaitu musik yang dihasilkan dengan cara dipukul untuk menarik perhatian orang dalam tarian. Jenis musik ini dapat dihasilkan dari sejumlah anak panah yang disatukan lalu dipukul (sike tok), sejumlah pion yang dipotong-potong dan diikat lalu dipukul (pion tok), dan batu-batu yang dipukul (helekit).
· Musik Ane Tutum, yaitu jenis musik yang dihasilkan dari kulit yang ditabuh seperti gendang, yakni tifa. Tifa terbuat dari jenis pohon weki dan kepi.[35]

11. Situasi Aktual Suku Dani
a) Peralihan dari kehidupan yang tergantung pada pertanian kecukupan ke ketergantungan pada pendapatan berupa uang[36]
Keadaan suku Dani sebelum perubahan memperlihatkan suatu pola hidup sederhana, nafkah hidup mereka pas-pasan, kebutuhan-kebutuhan mereka terbatas dan dapat dipenuhi secara sederhana. Untuk makan bisa diambil dari kebun dan yang lain diambil dari alam.
Kebutuhan mereka kian hari kian membengkak dan pemakaian benda-benda dari luar memperlihatkan suatu perubahan dalam kehidupan mereka. Mereka telah menggunakan parang, kapak besi, dan sekop untuk mengerjakan kebun. Mereka mengkonsumsi beras dan menggunakan alat masak dari luar untuk memasaknya. Pencurian babi, ayam, dan hasil kebun semakin populer. Tidak jarang terjadi bahwa ada orang yang menemukan babi atau ayamnya ditangan pihak ketiga yang telah membeli dari pencuri. Motif pencurian adalah untuk mendapatkan uang.
b) Perubahan nilai-nilai[37]
Dengan adanya perubahan pola hidup sederhana ke pola hidup yang lebih luas dan kompleks, maka nilai-nilai budaya pun semakin ditantang bahkan ada yang ikut tergeser. Kaum tua yang semakin gigih mempertahankan nilai-nilai budaya tidak mampu berbuat banyak. Di depan mata mereka menyaksikan anak-anak dan cucu mereka ikut menghancurkan nilai-nilai kebudayaan yang dulu sangat dihormati dan ditaati.
Hidup gotong royong bukanlah barang impor dari luar. Ini adalah milik suku Dani. Dengan semangat gotong royong itu, mereka menciptakan suatu hidup persaudaraan yang bermutu dan menjadikannya semakin hidup, namun nilai ini mulai samar-samar. Kebun-kebun yang dulunya dikerjakan secara beramai-ramai mulai dari membuka lahan sampai menanam, kini dikerjakan oleh pemiliknya sendiri dengan bantuan satu atau dua teman.
Benda-benda budaya pun mulai diperdagangkan, misalnya mumi yang dulunya disembunyikan tetapi kini dipamerkan sebagai objek wisata untuk mendatangkan uang. Batu Kaneke dan peranannya mulai hilang dan mulai diperdagangkan di mana-mana. Tanah yang dulunya dipertahankan dan direbut dengan darah para pahlawan melalui perang suku, kini dengan mudah dijual oleh oknum tertentu secara diam-diam dengan harga yang relatif rendah.
c) Agama[38]
Mayoritas masyarakat suku Dani sampai saat ini memeluk agama Kristen. Namun, ada sebagian kecil masyarakat yang bergama Islam. Interaksi suku Dani dengan agama Islam sudah dimulai sejak peristiwa integrasi dengan Republik Indonesia sekitar tahun 1960-an. Agama Islam dibawa oleh para transmigran dan guru-guru dari daerah Jawa dan berpusat di daerah Megapura.
d) Pendidikan
Dalam hal pendidikan, pada mulanya para kepala suku menolak anaknya untuk disekolahkan. Namun, sejalan dengan waktu dan tuntutan modernisasi, lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah yang dibangun para missionaris barat dan pemerintah Indonesia mulai menarik minat Suku Dani. Secara bertahap ada anak suku Dani mulai dididik dan sekaligus dibaptis. Putra Balim yang telah menjadi sarjana pioner antara lain adalah David Huby, Simeon Itlay, Benny Hilapok, Agus Alua, Bartol Paragaye, Bonafasius Huby, Alpius Wetipo, Tobias Itlay, Damianus Wetapo, Dominicus Lokobal, Benny Huby, Vincent, Jelela Wetipo, Tadius Mulait dan lain-lain. Deretan intelektual pertama Papua yang merupakan hasil godokan para missionaris, misalnya, Benny Giay, Sofyan Nyoman (Protestan), Agus Alue Alua, David Huby (Bupati Kab. Jayawijaya, tahun 1999-1996), dan Niko Asso-Lokowal (Katolik).[39] Sekarang ini telah banyak orang Dani yang mengecap pendidikan. Kalangan intelektual suku Dani pun sudah tak terhitung banyaknya. Namun lebih dari itu, pendidikan tetaplah merupakan suatu hal yang harus terus dikembangkan dalam masyarakat suku Dani.

Kesimpulan
Setiap suku di suatu daerah pasti memiliki ciri khas kebudayaannya masing-masing. Ciri ini membedakan satu suku dengan suku yang lainnya. Hal yang sama juga terlihat pada suku Dani. Dari hasil pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa suku Dani memiliki kekayaan etnografi yang bernilai tinggi. Semuanya nampak jelas dalam berbagai segi kehidupan masyarakatnya, misalnya dalam bidang pertanian. Sejak dulu masyarakat Dani sudah mengenal cara berkebun yang sangat maju. Hal ini terbukti lewat cara pembuatan bedeng-bedeng yang dilengkapi dengan parit-parit di pinggirnya untuk mempermudah irigasi. Hal lain juga bisa terlihat dari cara mereka membuat rumah yang diatur sedemikian rupa sehingga membentuk kompleks pemukiman yang rapi.
Ketika berhadapan dengan arus modernisasi, suku Dani tetap berusaha mempertahankan ciri khas budayanya, meskipun terjadi banyak perubahan dalam seluruh aspek kehidupan. Perubahan yang dimaksud menyebabkan terjadinya asimilasi, inkulturasi dan konfrontasi dengan budaya setempat. Jika dilihat secara sepintas maka kehidupan suku Dani yang sekarang sudah mulai berbeda dari kehidupan beberapa generasi suku Dani terdahulu. Meskipun demikian, ada tradisi-tradisi tertentu yang masih dilaksanakan dan dipertahankan keasliannya.



[1] Sebutan bagi orang Dani; arti harafiahnya agak sulit diterjemahkan.
[2] Agus Alua, Wenewolok di Lembah Balim, Jayawijaya,Papua Arti dan Makna Sosilogis, Biblis dan Teologis (Jayapura: STFT Fajar Timur, 2007) hlm 2-4.
[3] Posman Simanjuntak, Berkenalan dengan Antropologi untuk SMU Kelas 3 (Jakarta: Erlangga, 2000) hlm 54.
[4] Ismail Asso, http://ismail-asso.blogspot.com/2009/02/kebudayaan-suku-dani-papua.html.
[5] Yahoo Groups, http://groups.yahoo.com/group/Komunitas_Papua/message/11723
[6] Posman Simanjuntak, Op. cit., hlm 54.
[7] Lihat juga mitologi suku Dani dalam pembahasan tentang Sitem Religi, hlm 16.
[8] Posman Simanjuntak, Op. cit., hlm 55.
[9] Demy B. Wetapo, Sumber Sejarah Orang Balim dan Kaneke Serta Beberapa Contoh Upacaranya, Skripsi (Jayapura: STFT Fajar Timur, 1981) hlm 11.
[10] Savitri Dyah, dkk, Pembangunan Masyarakat Pedesaan - Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena, Irian Jaya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996) hlm. 56; (Bdk. Nico A. Lokobal, Makalah Seminar Kebudayaan Jayawijaya, Jayapura: 1991, hlm 19-20).
[11] A. Sorabut, Dampak Bahasa Indonesia Terhadap Bahasa Dani (Makalah Seminar, 1991) hlm 5-6.
[12] Blog Suara Rakyat Papua, http://suararakyatpapua.blogspot.com/2008/05/daftar-pustaka-bacaan.html?zx=8e08b1e722b81d18
[13] Savitri Dyah, dkk, Op. cit., hlm. 52 – 53.
[14] Posman Simanjuntak, Op. cit., hlm 57.
[15]George Junus Aditjondro, Pendekatan Theory Before dan Theory After, http://gsfaceh.com/buku/Metodelogi%20%20Pendekatan%20Theory%20Before%20dan%20Theory%20After.doc
[16] Douglas Hayward, The Dani Of Irian Jaya Before And After Conversion (Sentani: Region Press, 1980) hlm 19.
[17] Posman Simanjuntak, Op. cit., hlm 57.
[18] Douglas Hayward, Op. cit., hlm 20.
[19] Posman Simanjuntak, Op. cit., hlm 55-56.
[20] Octovianus Malisngoran-Ivakdalam, Pengaruh Kota Wamena Terhadap Kehidupan Suku Dani Dalam Konteks Urbanisasi, Karya Ilmiah (Jayapura: STFT Fajar Timur, 1987) hlm 21.
[21] Savitri Dyah, dkk, Op. cit., hlm 100-102.
[22] Posman Simanjuntak, Op. cit., hlm 55.
[23] Jan Boelaars, Manusia Irian: Dahulu, Kini dan Masa Depan (Jakarta: PT. Gramedia, 1984) hlm 120.
[24] Octovianus Malisngoran-Ivakdalam, Op. cit., hlm 20.
[25] Lihat halaman 15.
[26] Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Koteka
[27] Bdk., pembahasan tentang kesenian orang Dani dalam membangun silimo dalam tulisan ini (hlm 17).
[28] Frans Lieshout OFM, Sejarah Gereja Katolik di Lembah Baliem Papua (Jayapura: Sekretariat Keuskupan Jayapura, 2009) hlm 14.
[29] Ibid., hlm 362-364.
[30] Posman Simanjuntak, Op. cit., hlm 54.
[31] George Junus Aditjondro, Op. cit.
[32] Posman Simanjuntak, Op. cit., hlm 57.
[33] Yulianus Joli Hisage, dkk, Kesenian Tradisional Balim (Wamena: Yayasan Silimo Bina Adat, 2007) hlm 46-53.
[34] Ibid., hlm 20-33.
[35] Ibid., hlm 9-15.
[36] Octovianus Malisngoran-Ivakdalam, Op.cit., hlm 23-26.
[37]Ibid.
[38] Ismail Asso, Op. cit.
[39] Ibid.