Rabu, 29 Agustus 2012

Mengenal Suku Bangsa Minahasa



Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan suku-suku dengan budayanya masing-masing. Sebagai anak-anak bangsa, kita perlu mengetahui dan mengenal setiap suku dan budaya yang ada. Salah satu suku di Indonesia adalah suku Minahasa di pulau Sulawesi. Untuk tujuan itulah maka tulisan ini saya sajikan untuk memberikan sedikit gambaran tentang budaya suku Minahasa yang berdiam di Sulawesi Utara. Saya berusaha untuk memberikan data itu dengan merujuk pada etnografi Koentjaraningrat (Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm.341-387). Untuk mendapatkan bahan-bahan yang disajikan ini, saya menggunakan metode tinjauan kepustakaan.
Ucapan terima kasih saya tujukan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tulisan ini. Saya pun merasa bahwa apa yang disajikan di dalam tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saya sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran demi menyempurnakan tulisan ini. Semoga apa yang disajikan oleh dalam tulisan ini bisa berguna bagi kita semua khususnya pembaca blog ini untuk mengenal dan memahami suku Minahasa. 

I. ETNOGRAFI SUKU MINAHASA
1.1  Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi
a.       Lokasi
Minahasa terletak di bagian timur-laut jazirah Sulawesi Utara[1], di antara 0 derajat 51’ dan 1 derajat 51’ 40’ lintang Utara dan 124 derajat 18’ 40’ dan 125 derajat 21’ 30’ bujur Timur. Luas Minahasa 5273 Km², sedangkan luas wilayah pulau-pulau sekitarnya 169 Km²[2]. Daerah Minahasa termasuk juga dengan beberapa pulau kecil di bagian Utara, seperti pulau Manado Tua, Bunaken, Siladen, dan Naen[3]. Tetangga-tetangga Minahasa ialah Sangir Talaud di bagian Utara dan Bolaang Mongondow di bagian selatan[4]
b.      Lingkungan alam
Kawasan Minahasa berupa daerah vulkanik muda. Sifat-sifat khasnya ialah pelbagai tepi gunung yang curam, diselingi oleh sungai-sungai kecil yang mengering sesudah mengalir cepat dan singkat ke laut. Di Minahasa terdapat empat gunung tinggi yang penting, yaitu Kalabat di Utara, Lokon dan Mahawu di tengah, dan Soputan di Selatan. Selain juga ada beberapa gunung lain, yakni gunung Dua Saudara, Masarang, Tampusu, Manimporok, Lolombulan, Lengkoan, dan pegunungan Lembean. Sungai-sungai yang terdapat di Minahasa, antara lain sungai Tondano, Ranoyapo, Poigar, dan sebagainya. Di tengah Minahasa terdapat suatu dataran tinggi (700m) dengan danau Tondano di tengahnya. Di daerah itu dan di wilayah-wilayah datar lainnya ditanami padi pada wilayah yang beririgasi, jagung di tebing-tebing gunung beserta sayur-mayur, kelapa di sepanjang pantai dan pohon cengkeh di wilayah yang lebih tinggi. Iklim Minahasa tropis dan basah, dengan curah hujan rata-rata 2.000 sampai 4.000 mm. Dalam satu tahun terdapat dua musim, yakni musim hujan yang berlangsung sejak bulan Oktober sampai Maret dan musim panas dari bulan April sampai September[5].
 
c.       Demografi
Orang Minahasa menyebut diri mereka orang Manado atau Touwenang (orang Wenang), orang Minahasa, dan juga Kawanua[6]. Masyarakat asli Minahasa terbagi ke dalam 8 sub-etnik atau suku bangsa, yakni:
1.      Tonsea; terdapat di sekitar Timur Laut Minahasa.
2.      Tombulu; terdapat di sekitar Barat Laut danau Tondano.
3.      Tontemboan/Tompakewa; terdapat di sekitar Barat Daya Minahasa.
4.      Toulour; terdapat di bagian Timur dan pesisir danau Tondano.
5.      Tonsawang; terdapat di bagian tengah dan Selatan Minahasa.
6.      Pasan atau Ratahan; terdapat di bagian Tenggara Minahasa.
7.      Ponosakan; di bagian Tenggara Minahasa.
8.   Bantik; terdapat di beberapa tempat di pesisir Barat Laut Utara dan Selatan kota Manado.
Pola perkampungan desa di Minahasa bersifat menetap, mengelompok, dan padat. Kelompok rumah-rumah dalam desa memanjang mengikuti jalan raya[7]. Rumah tradisional berbentuk panggung dengan tinggi 5-10 meter, dengan maksud untuk menghindari gangguan binatang buas dan gangguan musuh, misalnya perampok-perampok yang datang dari luar daerah seperti dari kepulauan Mindanauw, orang Tidore, dari Maluku, dan orang Bajo/Wajo[8].

1.2  Asal Mula dan Sejarah
Sejak tahun 1970-an muncul pertanyaan di kalangan masyarakat Minahasa sendiri tentang yang manakah budaya asli mereka[9]. Orang Minahasa sendiri tidak mengetahui dengan jelas asal-usul sejarahnya, selain dari cerita mitos tentang Toar dan Lilimut. Penduduk Minahasa baik di kota maupun di desa pada umumnya tidak memperlihatkan lagi unsur-unsur budaya asli seperti dalam suku-suku bangsa lain di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perubahan sejarah yang cepat sejak perjumpaan dengan orang-orang Eropa, khususnya pada periode pemerintahan kolonial Belanda di abad ke-19. Masuknya kebudayaan asing di Minahasa sesungguhnya telah dimulai pada abad ke-16 dengan kedatangan orang Spanyol yang kemudian digantikan oleh Belanda setelah kalah perang pada tahun 1660. Pengaruh kehadiran orang Spanyol yang bertahan hampir seabad di Minahasa masih tampak hingga saat ini, antara lain dalam aspek bahasa ada beberapa kata yang tak lain ialah bahasa Spanyol (nyora, kawayo). Selain itu, pakaian yang dianggap orang Minahasa sebagai pakaian adat (patung kurengkeng dan saraun di Tondano) tak lain adalah pakaian ala Spanyol. Bersamaan dengan  masuknya bangsa Spanyol, masuk pula unsur-unsur agama Katolik yang mula-mula dibawa oleh Pater Diego de Magelhaens dan kemudian oleh misionaris lainnya. Penginjilan oleh misionaris Katolik kemudian diganti oleh para pendeta Protestan akibat peralihan kependudukan dari Spanyol ke Belanda. Tahun 1675, pendeta Montanus mengadakan penginjilan di Minahasa, diikuti oleh J.G Schwars dan J.C Riedel pada tahun 1831. Berkuasanya Belanda di Minahasa juga membawa unsur-unsur kebudayaan lain bagi penduduk Minahasa, antara lain bahasa, cara-cara berpakaian, sistem pemerintahan, sistem pengetahuan, pendidikan, kesehatan,  peralatan, pengangkutan, dan sebagainya[10].
Proses perubahan yang dialami oleh suku bangsa Minahasa akibat kontak dengan masyarakat luar dapat dilihat juga dari beberapa nama yang diberikan bagi daerah ini. Dahulu kawasan ini disebut dengan Malesung (lesung padi), lalu Se Mahasa (mereka yang bersatu) tetapi kemudian kedua nama ini menghilang. Kini daerah ini dikenal dengan Minahasa[11] (dipersatukan). Nama Minahasa pertama kali muncul dalam dokumen Belanda pada tahun 1789 dan lambat laun diterima sebagai nama resmi. Pernah pada tahun 1970-an muncul suatu julukan yaitu ‘Bumi Nyiur Melambai’, dan lagi pada tahun 1990-an ‘Tanah To’ar dan Limumu’ut’[12].

1.3  Bahasa
Dalam hidup harian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa Indonesia yang dipadukan dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa Melayu Manado. Bahasa ini adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antar orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun dengan penduduk dari suku-suku bangsa lainnya. Di daerah perkotaan, orang memakai Melayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi Minahasa. Pengaruh Melayu Manado ini juga sudah mulai terlihat di desa-desa. Generasi terakhir sudah kurang mengetahui bahasa pribumi mereka. Proses indigenisasi Melayu Manado ini berlangsung dengan pesat dan membentuk suatu ciri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa[13].
Mengenai bahasa pribumi, di Minahasa terdapat 8 bahasa sesuai dengan jumlah sub etnik suku Minahasa, yakni bahsa Tombulu, Tonsea, Tondano (Toulour), Tontemboan, Tonsawang, Pasan (Ratahan atau Bentenan), Ponosakan, dan Bantik. Ketiga yang terakhir ini dekat dengan bahasa Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa yang besar lainnya berasal dari satu rumpun, yaitu Proto-Minahasa[14]. Bahasa Tontemboan kini mempunyai pengguna terbanyak, diikuti dengan bahasa Tombulu, Tondano di posisi ketiga dan kemudian Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu dipakai dalam nyanyian, puisi, doa dan peribahasa di seluruh Minahasa, tetapi sekarang ini jumlah pemakainya sudah berkurang dan kenyataan membuktikan bahwa banyak orang Tombulu tidak lagi menggunakannya. Sebaliknya, bahasa Tonsea dan Tontemboan kini sedang naik pamor dan dipakai secara aktif dan terbuka di muka umum[15].

      1.4  Sistem Teknologi[16]
Seiring dengan perkembangan jaman, teknologi dalam setiap suku bangsa pun semakin berkembang. Di Minahasa, sama seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia, sistem teknologi dan penggunaan alat-alat tradisional sudah semakin menghilang diganti dengan alat-alat modern buatan pabrik. Namun, dalam bagian ini penulis berusaha memasukkan daftar alat-alat tradisional yang dahulu dipakai oleh masyarakat suku Minahasa atau mungkin juga masih dikenal atau digunakan oleh masyarakat Minahasa dewasa ini di tempat-tempat tertentu. Alat-alat tersebut mulai dari alat-alat rumah tangga sampai alat-alat yang digunakan untuk bekerja dan berperang.
a.   Alat-alat rumah tangga: masih sering dijumpai di desa-desa, antara lain nihu (penampi beras/padi), loto (bakul), poroco (jenis bakul), rueng (belanga), rumping (belanga goreng), ramporan (dodika/tempat memasak), tampayang (tempayan), mauseu/nuuseu/naaweyen/sincom (tempat nira dari bambu), salangka (peti tempat menyimpan barang berharga), tepe (tikar), patekelan/panteran/koi (tempat tidur), piso (pisau),dan lisung (lesung).
b.   Alat-alat pertanian: beberapa alat yang selalu dipakai penduduk dalam pertanian seperti, pajeko (bajak), sisir, pacol (pacul), sekop (tembilang), peda (parang), sambel (sabel), dan pati/tamako (kapak).
c.    Alat-alat perburuan: alat-alat yang dahulu sering digunakan dalam perburuan, antara lain tumbak (tombak), sumpit (senjata untuk burung saja), wetes/dodeso (jerat), sassambet (semacam jerat), dan sinapang (senapan).
d.   Alat-alat perikanan: alat-alat yang digunakan oleh masyarakat Minahasa yang berprofesi sebagai nelayan, yakni perahu sampan, perahu giob (lebih besar dari sampan), pelang (lebih besar dari giob), soma (pukat besar), pukat, hohati (kail), nonae (umpan), sosoroka (semacam tombak yang khusus dipergunakan di danau), rompong (rumah di atas air yang telah dipasang dengan jala), sesambe (berbentuk seperti layar kecil untuk menangkap ikan-ikan kecil), dan sero babu yang telah dianyam untuk membungkus ikan.
e.    Alat-alat peternakan: alat-alat yang digunakan dalam beternak. Alat-alat ini tidak terlalu banyak terdapat di Minahasa dikarenakan peternakan merupakan pekerjaan sambilan saja. Alat-alat tersebut antara lain: lontang tempat makanan babi, roreongan atau sangkar ayam.
f.   Alat-alat kerajinan: alat-alat yang digunakan dalam kerajinan masyarakat. Alat-alat ini merupakan campuran dari alat-alat asli buatan orang Minahasa dan alat-alat yang datang dari luar (yang berbahan logam). Beberapa alat buatan penduduk antara lain, kekendong (alat pemintal tali yang terbuat dari bambu atau kayu), jarong katu (penjahit atap yang juga dibuat dari bambu atau kayu), gelondong atau jarong benang bambu, martelu (martil yang dibuat dari kayu), sarong peda (sarung parang yang terbuat dari kayu, bambu, dan pelepah pinang).
g.   Alat-alat transportasi: alat-alat perhubungan yang digunakan oleh masyarakat Minahasa, antara lain roda sapi, bendi, sampan atau perahu (ada beberapa jenis), dan rakit.
h.   Alat-alat peperangan, yakni alat-alat yang dipakai oleh masyarakat Minahasa dahulu dalam berperang, antara lain kelung (tameng), santi (pedang), kiris (keris), tumbak, pemukul, tamor (tambur), tettengkoren (tubuh dari bambu), pontuang (alat tiup dari kulit kerang), kolintang (dibuat dari perunggu yang sama dengan alat musik Gamelan Jawa), dan gong.
i.    Alat-alat untuk menyimpan, antara lain godong (gudang di bagian bawah rumah untuk menyimpan hasil-hasil produksi), cupa (volumenya hampir tiga liter, terbuat dari bambu), gantang (volumenya 27 liter, terbuat dari kayu), walosong (tempat menyimpan makanan, terbuat dari bambu), dan para-para (sejenis meja dari bambu tempat menaruh alat-alat dapur). 

1.5  Sistem Mata Pencaharian 
Beberapa mata pencaharian masyarakat Minahasa yang dibahas penulis dalam tulisan ini, yakni:
a.       Berburu/meramu
Pada zaman dahulu jenis mata pencaharian ini merupakan salah satu mata pencaharian pokok, tetapi kini tidak lagi ditemukan dalam masyarakat Minahasa. Sudah sejak lama masyarakat Minahasa mampu menggarap tanah dan mengusahakannya bagi kehidupan mereka. Dahulu di beberapa tempat masyarakat mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan, babi rusa (langkow), sapi hutan/anoa, dan rusa. Demikian pula penduduk peramu pada zaman dahulu ada yang meramu damar, rotan, dan sebagainya. Kini, berburu hanya merupakan pekerjaan sambilan atau hanya untuk mencari kesenangan saja.
b.      Pertanian
Sektor ini merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa dalam arti bahwa pertanian menempati urutan teratas atau merupakan mayoritas sumber ekonomi masyarakat. Sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang perkebunan rakyat dengan tanaman-tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Sekarang ini komoditi pertanian lain, yaitu coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mente mulai digiatkan secara intensif dengan metode dan teknologi modern[17]. Tanah pertanian – sawah atau ladang – di Minahasa dimiliki baik oleh perorangan/milik sendiri (pasini) yang diperoleh berdasarkan warisan atau pembelian maupun secara bersama (kalekeran) yang digarap secara mapalus.
Sistem bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering) biasanya bersifat menetap dan ditanami jagung sebagai tanaman pokok dan diselingi dengan padi ladang, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian dan rempah-rempah. 
c.       Perikanan
Perikanan merupakan salah satu sektor mata pencaharian yang berkembang baik dalam masyarakat Minahasa. Hal ini didukung oleh program-program pemerintah yang mendirikan Balai-balai Benih Ikan (BBI) di beberapa daerah di Minahasa[18]. Selain itu, juga ada peralihan dari teknologi tradisional dalam bidang perikanan ke dalam teknologi modern yang membuat usaha perikanan semakin produktif, misalnya dengan ‘motorisasi’ perahu penangkap ikan. Sama seperti di daerah-daerah lainnya, penduduk Minahasa yang bermukim di pesisir-pesisir pantai mempunyai mata pencaharian pokok menangkap ikan. Usaha pemerintah dalam dalam memajukan sektor perikanan laut terlihat di daerah Aertelaga, dengan mendirikan lembaga usaha penangkapan dan pengolahan ikan cakalang[19]. Berbagai jenis ikan yang juga ditangkap antara lain, tongkol, roa (julung-julung), sardin (japuh), kembung, ikan layang (mamalugis), ikan batu, dan kura-kura (tuturuga). Hasil perikanan baik darat maupun laut ini kemudian dibawa ke pasar-pasar di ibukota kecamatan, kabupaten, atau ke Manado yang kemudian dibawa juga ke daerah-daerah lain di luar Minahasa[20].
d.      Peternakan
Peternakan tidak terlalu memegang peranan penting sebagai sumber ekonomi masyarakat Minahasa. Ternak yang dipelihara dalam masyarakat Minahasa berupa sapi, babi, ayam, bebek, kuda, anjing, angsa, tetapi hanya dalam jumlah kecil saja. Namun terdapat juga pasar ternak (belante) di beberapa daerah. Ternak biasanya berfungsi sebagai pembantu tenaga kerja dalam bidang pertanian, transportasi, penjaga rumah, dan sering juga dipakai sebagai mas kawin.
e.       Kerajinan
Pada umumnya hasil kerajinan masyarakat Minahasa dikerjakan oleh wanita. Kerajinan itu berupa tikar, topi, dan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari sejenis daun tumbuh-tumbuhan, rotan, silar, pandan, sejenis bambu (lou/dames), dan bambu kecil yang disebut bulu tui. Terdapat juga pembuatan alat-alat rumah tangga dari tanah liat berupa tembikar, jambangan, pot-pot bunga, piring, dan mangkok. Hasil-hasil kerajinan tersebut diperdagangkan penduduk sampai ke pelosok-pelosok Minahasa.

      1.6  Sistem Kemasyarakatan
Kelompok kekerabatan di Minahasa dimulai dari bentuk yang terkecil yakni keluarga batih, yang disebut sanggawu (sangga= satu; awu= dapur). Sanggawu dapat berupa pasangan suami istri sendiri, atau beserta anak, baik anak kandung maupun anak angkat. Terbentuknya sanggawu dimulai dari pernikahan antara seorang wanita dan pria yang pada umumnya bukan hasil penjodohan yang tegas dari pihak orang tua. Setiap orang bebas menentukan jodohnya, asalkan bukan pasangan yang masih memiliki hubungan darah. Sesudah menikah pun mereka bebas menentukan tempat tinggal, biasanya secara neolokal (tumampas) di mana mereka tinggal di suatu tempat yang baru, terpisah dari kerabat istri maupun suami. Namun sebelum mempunyai rumah sendiri, adakalanya mereka tinggal di sekitar kerabat suami atau istri. Dengan tinggal berdampingan dengan keluarga batih dari kerabat atau orang tua, terbentuk suatu keluarga luas, yang biasanya terdiri dari beberapa keluarga batih, baik dalam satu rumah maupun satu pekarangan.
Batas-batas dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang Minahasa ditentukan oleh prinsip-prinsip keturunan melalui lelaki dan wanita yang disebut prinsip keturunan bilateral. Dalam bahasa Minahasa prinsip keturunan seperti ini disebut taranak (famili), yang dapat dimengerti sebagai sebuah klen kecil. Setiap taranak memiliki kepala yang disebut tua unta ranak. Identitas satu taranak dilihat dari nama famili atau disebut fam. Nama famili ini biasanya diambil dari nama famili suami tanpa perubahan prinsip bilateral. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan penulisan fam suami dan isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan rumah[21]. Hal yang menonjol dalam hubungan taranak di Minahasa, ialah di bidang warisan, kematian, perkawinan, dan pemilihan kepala desa. Dalam beberapa bidang ini sering timbul persaingan antar taranak dan kerjasama dalam satu taranak. Beberapa istilah yang digunakan untuk menyapa anggota famili dalam masyarakat Minahasa, yakni: Opu (kakek dari ayah atau ibu), Omu (nenek dari ayah atau ibu), Opa/Tek (ayah dari ibu/ayah), Oma/Nek (ibu dari ayah/ibu), Papa/Papi/Pa’ (ayah), Mama/Mami/Ma’ (ibu), Om/Mom (paman), Tante (bibi/tanta), dan Bu/Mbu (ipar/kakak lelaki)[22].
Desa (Banua/Wanua) merupakan suatu kesatuan hidup setempat di Minahasa yang dipimpin oleh seorang kepala desa (hukumtua). Ia dibantu oleh sejumlah orang yang semuanya disebut pamong desa. Untuk usaha-usaha gotong royong dan pembangunan desa, terdapat juga orang-orang yang membantu hukumtua yang biasa disebut tua-tua kampung. Mereka itu terdiri dari pemimpin-pemimpin agama setempat, guru-guru, mantan hukumtua, pemimpin-pemimpin kecil/RT dalam desa (kepala jaga), meweteng (pembantu kepala jaga), juru tulis, dan sejumlah pensiunan yang ada di desa[23].
Dalam menghadapi hal-hal kemasyarakatan yang penting seperti kematian, perkawinan, pengerjaan wilayah pertanian, kepentingan rumah tangga atau komunitas, masyarakat Minahasa menampakkan suatu gejala solidaritas berupa bantu-membantu dan kerjasama yang didasarkan pada prinsip resiprositas. Kegiatan kerjasama dan gotong royong ini disebut dengan mapalus. Bantuan yang diberikan bisa dalam berbagai bentuk, baik tenaga maupun barang-barang atau uang. Bantuan tersebut harus disadari oleh orang yang menerimanya dan diberikan balasannya, jika tidak ia akan dianggap sebagai orang yang tidak baik dan tidak akan menerima bantuan lagi dari siapapun[24]. 
Masyarakat Minahasa umumnya memiliki suatu kesadaran akan kesatuan tempat asal seperti sekampung/sekecamatan/sedistrik dan juga berdasarkan kekerabatan/famili yang terwujud dalam kelompok-kelompok sosial seperti perkumpulan-perkumpulan, persatuan-persatuan, dan kerukunan yang terdapat di kota Manado maupun di daerah lain di luar Minahasa. Kerukunan seperti ini biasa disebut pakasa’an, yang dahulu sebenarnya berarti wilayah kesatuan adat yang sama. Tetapi kini perkumpulan-perkumpulan pakasa’an ini tidak lagi mendasarkan kesatuan sosial mereka menurut wilayah-wilayah pakasa’an atau distrik dahulu[25].
Perkawinan dalam masyarakat Minahasa bukan berdasarkan penjodohan oleh orang tua, sehingga pergaulan muda-mudi umumnya bebas tetapi selalu dilihat secara diam-diam oleh pihak orang tua. Para muda-mudi memiliki waktu tertentu sebagai kesempatan pertemuan, yakni pada saat pesta-pesta kawin, malam hiburan, dan mapalus. Bila seorang pemuda sudah menemukan jodohnya, ia berterus-terang kepada orang tuanya. Jika disetujui, orang tua kemudian mengambil seorang perantara (rereoan/pabusean) untuk menyampaikan hasrat pemuda tersebut dengan mengatasnamakan orang tua pemuda kepada pihak orang tua perempuan. Bila disetujui, upacara berlanjut pada penentuan hari pengantaran mas kawin yang dikenal dengan antar harta/mali pakeang/mehe roko. Upacara itu termasuk juga dengan penentuan tempat dan tanggal pernikahan, jumlah undangan, surat-surat yang diperlukan, saksi-saksi, dan sebagainya. Kemudian barulah dilangsungkan upacara perkawinan yang biasanya diadakan di gereja dan melalui pemerintah (catatan sipil). Di samping itu, masih ada juga kawin baku piara yang tidak melalui catatan sipil atau agama. Hal ini seringkali dipengaruhi oleh persetujuan orang tua dan keterbatasan ekonomi[26].

      1.7  Sistem Pengetahuan[27]
Sistem pengetahuan masyarakat suku Minahasa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yakni:
a.       Alam fauna; adanya kepercayaan terhadap tanda-tanda binatang seperti burung dan ular. Ada dua macam burung yang menunjukkan berbagai tanda. Burung siang (waru endo, kemekeke, totombara) dapat menunjukkan tanda adanya berita yang menyenangkan (lowas, keeke rondor), tanda tidak mengganggu perasaan (keeke tenga wowos), tanda tidak menyenangkan (mangalo/mangoro), dan tanda yang menakutkan atau beralamat tidak baik (keke). Burung malam (wara wengi kembaluan) dapat bersuara merdu tanda menyenangkan (manguni rendai), suara hampir merdu dan putus-putus tanda tidak mengganggu perasaan (imbuang), suara parau tanda membimbangkan (paapian), dan bunyi panjang serta keras (kiik) yang bertanda menakutkan jika terdengar dari arah depan atau kanan pendengar. Di samping itu, ada juga tanda dari ular, misalnya ular yang merayap dari barat ke timur dan ular yang mengangkat kepala. Tanda yang lainnya ialah tanda dari empedu atau hati binatang yang disembelih (babi, ayam, sapi, dll) yang dapat meramalkan masa depan.
b.      Alam flora; pengetahuan tentang alam flora dapat terlihat dari bermacam-macam bahan makanan masyarakat Minahasa yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Banyak bahan-bahan obat pula yang diperoleh dari berbagai jenis akar-akaran, dedaunan, kulit-kulit kayu, buah-buahan, rerumputan dan umbi-umbian. Beberapa contoh di antaranya, obat malaria dibuat dari sejenis akar yang disebut riis (tali pahit), goraka (jahe) sebagai obat batuk, obat sakit perut dan penolak roh jahat, serta kucai (sejenis bumbu dapur) sebagai obat demam bagi anak-anak.
c.       Tubuh manusia; pengetahuan tentang tubuh manusia dibagi ke dalam dua bagian yakni yang menyangkut perbuatan dan yang menyangkut hal-hal yang terjadi dalam tubuh. Pengetahuan itu lebih bersifat larangan-larangan bagi setiap orang yang melakukannya karena akan menimbulkan akibat tersendiri. Contohnya:
·         jangan memotong kuku pada malam hari, nanti kematian ibu atau salah satu anggota keluarga lekas terjadi; maksud sebenarnya ialah bila memotong kuku di waktu malam gampang mendapat luka.
·         Jangan suka tidur tiarap, nanti akan ditangkap hantu; maksudnya ialah agar peredaran darah tidak terganggu.
·         Bila ada kematian di desa, dilarang ke ladang/sawah, jika tidak diindahkan akan mati lemas; sebenarnya adat yang berlaku di Minahasa bila ada peristiwa kematian, setiap orang wajib memberikan bantuan, yang berarti tidak seorangpun yang boleh keluar dari desa.
·         Mata kiri bergerak, artinya akan mendapat surat atau akan segera bertemu dengan saudara yang berada jauh. Sebaliknya, mata kanan bergerak berarti akan mendapat berita buruk atau akan menangis nanti.
·         Telapak tangan kiri gatal artinya akan mendapat untung atau uang. Jika telapak tangan kanan yang gatal, tanda akan mengeluarkan uang.
d.      Ada juga kepercayaan rakyat Minahasa tentang mimpi, antara lain: mimpi gigi copot, alamat seorang dari keluarga dekat akan meninggal; mimpi mayat, artinya akan mendapat rejeki; mimpi mendapat uang atau dipagut ular, artinya akan mendapat sakit.
e.    Pengetahuan tentang alam, misalnya bila awan di langit kelihatan berpetak-petak, tandanya banyak ikan atau juga terjadi gempa bumi; bila kelihatan atau kedengaran segerombolan lebah yang terbang dari arah utara menuju selatan, alamatnya akan terjadi kemarau yang panjang, dan bila anjing-anjing membuang kotoran di jalanan umum, alamat musim kemarau panjang telah mulai.
f.    Pengetahuan tentang waktu; masyarakat Minahasa tradisional mengetahui tentang waktu dengan berpatokan pada matahari dan suara binatang. Misalnya, matahari mulai timbul berarti jam 6 pagi; di atas kepala adalah pukul 12.00; matahari terbenam pukul 6 sore. Ayam berkokok tengah malam adalah pukul 00.00; berkokok selanjutnya merupakan tanda sudah hampir siang. Para petani di sawah mendengar suatu binatang bernama konkoriang sebagai pertanda mereka harus segera pulang sebab waktu telah menunjukkan pukul 17.00. Ada juga semacam alat yang terbuat dari dua botol yang diikat sedemikian rupa, di mana pasir dipindahkan dari satu botol ke botol lain. Waktu selama pasir berpindah (lima jam) digunakan sebagai waktu bekerja (biasanya dalam mapalus).

      1.8  Sistem Religi
Sistem Religi dalam masyarakat Minahasa dibagi menjadi dua, yakni kepercayaan asli masyarakat (agama sakral) dan agama-agama wahyu.
a.       Kepercayaan asli masyarakat Minahasa
Unsur-unsur religi pribumi masyarakat Minahasa masih nampak dalam beberapa upacara adat yang dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkaran hidup individu, seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan, kematian, maupun dalam bentuk roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib dalam hidup sehari-hari, yang baik maupun yang jahat. Orang Minahasa menyebut dewa dengan Empung atau Opo. Dewa yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko (Tuhan Allah). Ia dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan dunia serta segala isinya. Sesudah dewa tertinggi, ada wujud di bawahnya yakni, Karema[28]. Rupanya Karema merupakan salah satu dari roh leluhur. Karema sendiri berarti ‘mitra, teman (ka-) yang dihubungkan dengan makan sirih-pinang (lema)’[29].
Opo ada yang baik dan ada yang jahat. Opo yang baik akan senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka, apabila mentaati petunjuk-petunjuk yang diberikan mereka. Pelanggaran terhadap petunjuk itu dapat mengakibatkan yang bersangkutan mengalami bencana, kesulitan hidup atau hilangnya kekuatan sakti akibat murka dari Opo-opo tersebut. Ada juga Opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal yang tidak baik seperti untuk mencuri dan berjudi[30]. Opo masih dibagi lagi ke dalam beberapa jenis, yakni: nenek moyang (dotu), Opo dari setiap kerabat, makhluk-makhluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan, tanah, pantai/laut, mata angin, dan Opo hujan[31].
Selain itu, orang Minahasa juga percaya akan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh leluhur, hantu-hantu, dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Bentuk makhluk halus itu bermacam-macam, yakni: mukur (arwah dari orang yang telah meninggal tetapi masih berada di sekitar keluarganya yang masih hidup), puntianak (arwah wanita yang mati dalam keadaan hamil atau melahirkan dan suka mengganggu orang yang masih hidup), setang mengiung-ngiung (sama dengan puntianak tetapi khusus bagi kaum pria saja), pok-pok atau suanggi (sebangsa drakula yang suka menghisap darah manusia yang masih hidup), panunggu (setan yang menempati tempat-tempat tertentu), jin (sama dengan panunggu tetapi selalu berkeliaran), dan lalu/lulu (sebangsa setan yang menghuni hutan)[32].
Masyarakat suku Minahasa juga memiliki kepercayaan bahwa ada bagian-bagian tubuh, benda-benda, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta ucapan manusia (sumpah dan kutuk) yang memiliki kekuatan sakti. Konsep kejiwaan bagi orang Minahasa tidak dibedakan dengan konsep roh. Unsur kejiwaan dalam hidup manusia ialah ingatan/gegenang, perasaan/pemendam, dan kekuatan/keketer. Tokoh tradisional yang melakukan dan memimpin upacara-upacara keagamaan pribumi disebut walian atau tona’as. Mereka berfungsi sebagai media untuk mendapatkan kekuatan sakti dari opo-opo dan juga mengobati orang sakit dengan cara tradisional[33].
b.      Agama-agama wahyu dalam masyarakat Minahasa
Umumnya orang Minahasa dikenal sebagai suatu komunitas Kristen yang juga masih menerima beberapa unsur atau konsep tertentu dari religi pribumi. Namun dalam kehidupan sehari-hari, unsur-unsur dari religi pribumi ini berpadu dengan komponen-komponen Kristen dan membentuk sebuah sinkretisme. Hal ini terlihat dalam upacara-upacara siklus hidup, pengobatan, dan perilaku keagamaan sehari-hari. Dalam proses sinkretisme ini, unsur-unsur religi pribumi mengalami penyesuaian maupun transformasi makna sehingga sejalan dengan agama Kristen. Misalnya, Opo Wailan Wangko sebagai konsep dewa tertinggi telah dilihat sebagai Tuhan Allah. Namun, di samping itu tentu terjadi juga beberapa ketidaksesuaian  persepsi emic dan etic atas sinkretisme tersebut[34].
Agama-agama yang umum dipeluk oleh masyarakat Minahasa ialah Protestan, Katolik, Islam, dan Budha. Sekarang ini Protestanisme merupakan mayoritas (85%) di Minahasa. Penganut Islam sendiri terhitung 8% dari populasi penduduk[35].

      1.9  Kesenian
Berikut adalah beberapa bentuk kesenian yang terdapat dalam masyarakat Minahasa.
·         Tarian perang yang disebut tari cakalele (mahasasau), merupakan perpaduan tari Spanyol yang telah mengalami perubahan di Ternate, dan kemudian masuk ke Minahasa. Berupa gerakan-gerakan perang; menantang, mengejar dan menghindari musuh dengan gerakan ke kiri serta ke belakang atau dengan lompatan menyerang musuh. Tarian ini diperagakan dalam berbagai kesempatan, seperti penyambutan tamu, pembangunan, penarikan kayu, dan pesta-pesta adat[36]. Selain itu, ada juga tarian lain yang diiringi dengan nyanyian, seperti tarian padi (makanberu), tarian naik rumah baru (merambak), dan tarian muda-mudi (lalayapan)[37].
·         Kesusasteraan suci masyarakat Minahasa dikenal dengan istilah masambo (meminta doa). Masambo memiliki perbedaan versi di tiap sub-suku Minahasa. Isi dari masambo tidak lain adalah doa permohonan kepada yang berkuasa agar tetap memelihara, menjaga, memberkati, memberikan restu, meminta rejeki, dan sebagainya yang biasa dijumpai pada bidang pertanian, perkawinan, naik rumah baru, kelahiran, kematian, dan sebagainya. Selain itu isinya juga mengandung nasehat-nasehat atau anjuran-anjuran yang harus diperhatikan sebagai pedoman hidup. Syair-syair masambo biasanya dinyanyikan menurut irama tertentu[38].
·         Ada juga berbagai ungkapan, pepatah,simbol, dan perumpamaan yang dimiliki oleh masyarakat suku Minahasa, terutama oleh orang-orang tua yang bermukim di desa-desa. Misalnya, Sa lumampang, lumampang yo makauner; arti harafiahnya: “kalau berjalan, berjalanlah ke dalam (tengah) atau bila masuk jangan setengah-setengah, melainkan masuklah ke dalam”. Pengertiannya, bila melaksanakan suatu pekerjaan, janganlah setengah-setengah melainkan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh[39]. Selain itu masih berbagai pepatah dan ungkapan lain. Simbol yang ada dalam masyarakat Minahasa, misalnya hiasan-hiasan berupa kain merah di kepala melambangkan kesatriaan dan keberanian, sayap bulu burung manguni (burung hantu) yang diikatkan di kepala menyimbolkan kebesaran dan keagungan, dan parang dan perisai sebagai lambang siap bertempur, siap berjuang membela tanah air[40].
·         Dalam bentuk pakaian atau tenunan, ada dua jenis tenunan. Yang pertama dan paling kasar adalah kadu/wau, yaitu kain panjang yang dapat dibuat rok wanita atau kemeja. Kain tersebut juga dipakai sebagai layar perahu pribumi, tirai serambi rumah, ataupun sebagai karung untuk mengangkut beras atau padi. Yang kedua ialah kain tenunan yang terbuat dari kapas dari pohon yang tumbuh di Minahasa. Kapas ini cukup baik dan halus, tetapi hasil tenunannya cenderung kasar. Biasa digunakan sebagai sarung dan alas pada tempat duduk orang besar atau ulama[41]. Para wanita Minahasa juga membuat tolo, tutup kepala berbentuk kerucut dengan berbagai ukuran, terbuat dari daun silar dengan berbagai warna yang mencolok[42]. Sayangnya, kini berbagai kesenian dalam bentuk tenunan ini sudah hilang dari kehidupan masyarakat Minahasa yang mulai terhanyut oleh arus kehidupan modern.
 
II.                PENUTUP
Setiap suku di suatu daerah pasti memiliki ciri khas kebudayaannya masing-masing. Ciri ini membedakan satu suku dengan suku yang lainnya. Hal yang sama juga terlihat pada suku Minahasa. Dari hasil pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa suku Minahasa memiliki kekayaan etnografi yang bernilai tinggi. Semuanya nampak jelas dalam berbagai segi kehidupan masyarakatnya, misalnya dalam bidang pertanian. Sejak dulu masyarakat Minahasa sudah mengenal cara berkebun yang sangat maju. Hal ini terbukti lewat cara pembuatan bedeng-bedeng yang dilengkapi dengan parit-parit di pinggirnya untuk mempermudah irigasi. Hal lain juga bisa terlihat dari cara mereka membuat rumah yang diatur sedemikian rupa sehingga membentuk kompleks pemukiman yang rapi.
Namun, ketika berhadapan dengan arus modernisasi, perubahan terjadi dalam hampir seluruh aspek kehidupan. Perubahan yang dimaksud menyebabkan terjadinya asimilasi, inkulturasi dan konfrontasi dengan budaya setempat. Jika dilihat secara sepintas maka kehidupan suku Minahasa yang sekarang sudah mulai berbeda dari kehidupan beberapa generasi suku Minahasa terdahulu. Meskipun demikian, ada tradisi-tradisi tertentu yang masih dilaksanakan dan dipertahankan keasliannya.

BIBLIOGRAFI

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1983. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Depdikbud.
Graafland N. 1991. Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya, (terjemahan Lucy R. Montolalu). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Cetakan ke-22.
Renwarin, Paul Richard. 2007. Matuari Wo Tona’as; Jilid 1: Mawanua. Jakarta: Cahaya Pineleng.


[1] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2007²²) hlm 143.
[2] Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara (Jakarta: Depdikbud, 1983) hlm 113.
[3] Paul Richard Renwarin, Matuari Wo Tona’as; Jilid 1: Mawanua (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007) hlm 11.
[4] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 143.
[5] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 10-11.
[6] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 143.
[7] Ibid., hlm 147.
[8] Depdikbud, Op. Cit. hlm 115; bdk. N. Graafland, Minahasa; Negeri, Rakyat, dan Budayanya (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991) hlm 3.
[9] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 1.
[10] Depdikbud, Op. Cit., hlm 124-125.
[11] Kata dasarnya asa, ‘satu’, tetapi sering dilafalkan esa. Kemudian ditambah prefiks maha, terbentuklah mahasa yang artinya ‘menyatukan’ atau ‘disatukan’. Dengan sisipan in menjadi Minahasa yang artinya ‘ dijadikan satu’. Bdk. N. Graafland, Op. Cit., hlm 9-10.
[12] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 1.
[13] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 143.
[14] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 29.
[15] Ibid., hlm 32.
[16] Depdikbud, Op. Cit., hlm 134-137.
[17] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 151.
[18] Depdikbud, Op. Cit., hlm 129.
[19] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 152; bdk. Ibid., hlm 130.
[20] Depdikbud, Op. Cit., hlm 130.
[21] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 156.
[22] Depdikbud, Op. Cit., hlm 158-159.
[23] Ibid., hlm 163.
[24] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 156.
[25] Ibid., hlm 158.
[26] Depdikbud, Op. Cit., hlm 161-162.
[27] Ibid., hlm 148-155.
[28] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 159.
[29] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 127; bdk. Depdikbud, Op. Cit., hlm 141.
[30] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 160.
[31] Depdikbud, Op. Cit., hlm 141.
[32] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 141-143.
[33] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 160-161.
[34] Ibid., hlm 163.
[35] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 35.
[36] N. Graafland, Op. Cit., hlm 28.
[37] Depdikbud, Op. Cit., hlm 146.
[38] Ibid., hlm 143-144.
[39] Ibid., hlm 164.
[40] Ibid., hlm 167.
[41] N. Graafland, Op. Cit., hlm 188.
[42] Ibid., hlm 184.