
Sembilan
tahun yang lalu aku memang seorang penjahat, perampok besar yang tak kenal
belas kasihan. Aku tak pernah kenal takut dan kejam menganiaya korbanku. Dulu
hidupku hancur tapi aku berjaya. Dibenci di mana-mana, dikutuk semua orang.
Keburukanku terkenal di seluruh penjuru daerah. Namaku hanya menghadirkan
kengerian dan ketakutan bagi orang yang mendengarnya. Aku punya banyak isteri,
anakku pun banyak, kebanyakan tidak kukenali, atau mungkin mereka yang tak mau
mengenal aku. Hartaku berlimpah, semua kemewahanku merupakan hasil dari
pekerjaan bejatku. Anehnya, -aku pun masih merasa heran sendiri- bertahun-tahun
aku selalu lolos dari kejaran pihak berwajib. Mereka tak pernah berhasil
mencium gerak-gerikku apalagi menyentuhku. Mungkin karena cara kerjaku dan anak
buahku yang jeli dan profesional. Profesional cara kami sendiri, asalkan pandai
menghilangkan bukti dan jejak. Sampai suatu kali, timah panas polisi berhasil
menembus kulitku dalam suatu penyergapan dan pengejaran. Hari itu aku sangat
takut, nyaliku menjadi begitu ciut dan sepertinya aku akan mati. Aku dihujani
begitu banyak tamparan dan tendangan oleh polisi dan warga. Rajaman batu pun
tak luput. Bahkan sampai di pengadilan pun, masih banyak orang yang ingin main hakim
atas diriku. Aku bagaikan singa ganas yang berhasil dilumpuhkan setelah sekian
lama diburu karena meresahkan warga.
“Ini
pakaian, uang dan barang-barangmu yang kau tinggalkan di sini sembilan tahun
yang lalu... Pergilah aku tak mau melihatmu kembali lagi ke sini”, kata sipir
penjara sambil menyerahkan barang-barangku. Aku mengangguk dan mengucapkan
terima kasih.
Kakiku
melangkah bebas keluar dari penjara itu. Kuhirup udara kebebasan ini, sungguh
menyejukkan. Sepertinya aku baru keluar dari neraka. Aku menoleh kembali ke
neraka itu, dalam hati aku bersumpah takkan kembali ke sana lagi. Kini aku tak
punya rumah lagi. Semuanya telah disita oleh negara karena merupakan hasil
kejahatan. Tetapi aku tahu tempat pertama yang harus kukunjungi setelah dari
penjara ini. Aku mau ke Kapela untuk berdoa. Aku ingin bersyukur kepada Tuhan
yang telah mengijinkan aku untuk merubah hidupku. Aku telah sadar akan semua
perbuatan jahat yang selama ini kulakukan. Aku telah membayarnya dengan
meringkuk sembilan tahun di penjara. Aku yakin Tuhan pasti mau menerimaku lagi.
Selesai
berdoa di Kapela, aku pergi menemui Romo Daniel di pastoran. Ia adalah pastor
yang membimbingku selama di penjara. Beliau yang menuntun aku menuju pertobatan
dan mengajarkan aku untuk mencintai Tuhan dan hidup lurus sesuai kehendak-Nya.
Aku menganggapnya seperti ayahku sendiri. Selama di penjara aku telah
menceritakan tentang diriku dan menumpahkan isi hatiku padanya. Aku begitu
mengasihinya dan merasa berhutang padanya.
“Bersyukurlah
pada Tuhan karena kamu bisa menjalani hukuman dan kini bisa merasakan
kebebasan”, katanya ketika aku menemuinya di pendopo pastoran.
“Iya
Romo... Terima kasih juga Romo, karena telah membimbing dan membina iman dan
diri saya selama di penjara. Semuanya sangat berarti bagi saya dan semua itu
tak mampu saya balas.”
“Tidak
perlu... yang penting sekarang kamu mau hidup dengan baik, meninggalkan segala
kejahatan dan menjadi manusia baru. Tuhan senang kalau kamu bertobat.”
“Betul
Romo... saya sudah berjanji pada Tuhan untuk berubah, Romo yang jadi saksi atas
janji saya ini.”
Romo
Daniel memelukku, air mataku bercucuran begitu deras. Aku menangis keras
seperti seorang anak kecil, menangisi semua dosaku seraya berterima kasih
kepada Tuhan. Romo memberkatiku sebelum aku melangkahkan kaki dari pintu rumah
pastoran.
***
Sudah
sebulan ini aku tinggal di rumah adikku Revan. Ia adalah satu-satunya kelurga
yang aku miliki, walaupun ia adalah adik angkatku. Empat belas tahun yang lalu
aku mengajaknya untuk ikut bersamaku ketika ia masih berkeliaran di jalanan.
Aku melihat bahwa ia memiliki bakat kejahatan yang cukup sempurna sehingga aku
mulai mengajarinya. Ia pun sering ikut dalam setiap aksiku dan mulai belajar
banyak hal dariku. Selama aku di penjara, ia pun selalu menjenguk dan menanyakan
keadaanku. Ia selalu bilang, “Kak... kalau nanti kakak bebas, aku ingin kita
bisa beraksi seperti dulu lagi...”. aku selalu terdiam setiap kali ia berkata
seperti itu. Aku ingin berkata, “Itu tidak mudah Van... Aku sudah bertobat”,
tapi aku malu. Aku malu atas kebodohanku sendiri. Aku yang menanamkan beribu
benih kejahatan di dalam dirinya. Kini benih itu telah bertumbuh dan mengakar
kuat. Bagaimana aku harus mencabutnya satu per satu?
Kuakui bahwa sesudah aku di
penjara, Revan menggantikan posisi dan popularitasku. Ia mulai terlibat dalam
berbagai aksi dan menunjukkan bakat kejahatan seperti yang aku wariskan. Aku
bingung harus berbuat apa. Aku betul-betul menyayangi Revan seperti adik
kandungku sendiri, namun yang kusesalkan ialah kebejatannya, ya kebejatanku
sendiri yang menjadi pemicunya. Revan pun selalu mengajakku untuk beraksi lagi,
tapi aku menolaknya dengan alasan belum siap. Aku ingin sekali meninggalkan
rumah Revan. Aku takkan bisa berubah kalau keadaan seperti ini.
Selain
itu, salah satu temanku -Baron- selalu mendatangi aku. Aku pun menganggapnya
sebagai saudara karena kami berteman sejak kecil dan dialah orang yang sangat
kupercayai. Namun yang tak kusukai ialah bahwa ia selalu membujuk aku untuk
kembali ke dunia hitam, bergulat dengan kejahatan seperti dulu. Padahal ia tahu
bahwa aku ingin bertobat dan tak mau seperti dulu lagi. Suatu hari ia berkata
kepadaku:
“Di...,
kalau kamu mau, kamu bisa kaya seperti dulu lagi. Buat apa hidup seperti ini?
Kamu ‘gak ingat masa jaya dulu? Kamu senang-senang dan hidup enak.”
“Tidak
Ron..., aku sudah berubah. Aku tak mau seperti dulu lagi. Kamu pun harus
berubah, pasti bisa. Tuhan masih menerima kita, sebesar apapun dosa kita.”
“Hah.....?
Tuhan? Sejak kapan kamu ingat Tuhan, Di? Aku tak berdoa pun hidupku tetap
nyaman. Aksiku sukses, hartaku berlimpah. O... aku tahu, pasti karena pastor
bajingan di penjara itu ya... Dia pasti sudah mencuci otakmu dengan Tuhannya.
Kalau mau biar nanti kusumpal saja mulutnya supaya tak bisa mempengaruhimu lagi.”
Dadaku
panas, darahku mendidih seketika mendengar kata-katanya. Langsung kuhantam
kepalanya dengan gelas yang ada di tanganku sampai gelas itu pecah. Cairan
merah kental mengalir di antara kedua matanya. Ia mengerang kesakitan.
“Kurang
ajar, apa kamu bilang?” aku berteriak sambil maju ke arahnya dan mengepalkan
tinjuku. Ia pun semakin mundur sambil memegang kepalanya dan melihat jemarinya
yang penuh darah.
“Oke...
oke... Di, aku menyerah. Tapi hari ini kamu telah salah betindak. Persahabatan
kita telah hancur. Lihat saja... kamu akan menyesal dengan pilihanmu itu.”
“Kamu
yang akan menyesal, Ron. Ini pilihanku, tak ada yang boleh menghalangiku.”
Baron
pergi sambil menyumpah dan memaki-maki. Aku sendiri menyesal karena telah
melukainya. Dan kini persahabatan kami telah hancur. Aku tahu dia, sampai kapan
pun ia takkan memaafkan aku. Tetapi bagaimanapun juga, sikapnya yang buruk itu
takkan pernah mampu bersanding dengan keinginanku untuk merubah hidupku.
Sejenak aku terdiam dan merenung, bagaimana aku bisa berubah kalau aku sendiri
tak bisa mengendalikan amarahku? Ah... coba saja aku punya hati yang pemaaf,
sabar menanggung salib yang Tuhan berikan dan dengan cinta kasih menanamkan
Tuhan dalam hati orang lain, seperti Romo Daniel. Aku merasa begitu rindu
padanya. Aku ingin mendengarkan nasihat-nasihatnya serta menghayati sabda Tuhan
yang ia sampaikan padaku. Kuputuskan dalam waktu dekat, aku harus pergi dari
rumah Revan. Aku tak tahan lagi kalau harus terus tinggal di sini. Aku akan
pergi kalau Revan tidak ada di rumah. Kalau ia ada, ia pasti akan menghalangiku
dan aku tak tahan menghadapinya serta menatap bola matanya karena aku malu...
***
Kumasukkan
semua pakaianku ke dalam tas dengan terburu-buru. Sejak semalam Revan tak ada
di rumah. Katanya ia pergi ke luar kota untuk menyelesaikan urusannya. Aku
sendiri tak ingin tahu apa urusannya. Pasti hanya berhubungan dengan kejahatan.
Mudah-mudahan aku sudah pergi jauh ketika ia datang supaya ia tak bisa mendapatiku
lagi. Aku baru saja mau keluar dari rumah ketika mataku terpaku pada layar
televisi yang sedang menyiarkan sebuah berita. Jantungku serasa ingin copot.
Aku tertegun. Kulempar sembarang tas pakaianku ketika aku melompat keluar dari
pintu dengan emosi yang menyala-nyala.
***
Kumasuki
halaman rumah Baron tanpa ada yang menghalangi. Semua anak buahnya seperti
ketakutan melihat kedatanganku yang tiba-tiba.
“Baron...
keluar kau bangsat...”, teriakku di depan pintu rumahnya.
Aku
lalu masuk dengan paksa ke dalam rumahnya. Kudapati dia sedang tertidur pulas
di sofa ruang tamunya. Kuhancurkan meja kaca di samping sofanya hingga hancur
berkeping-keping. Ia langsung terbangun karena kaget.
“Di...,
ada apa ini...?”
“Apa
yang kau lakukan bangsat?”, kucekik lehernya.
“Maksudmu?”,
ia mencoba berontak tapi tak cukup kuat untuk melawanku.
“Kau
yang membunuh Romo Daniel. Aku takkan memaafkanmu!”
“Ha...ha...ha...”,
ia tertawa dan dengan cepat mencabut pistol dari balik bajunya dan
menempelkannya di pelipisku. Aku melepaskan cengkeramanku.
“Kalau
aku yang membunuhnya, kau mau apa hah...? Kamu lihat ‘kan, si pastor tua itu
tak ada apa-apanya. Sekarang ia sudah mati. Apa kamu mau ikut dia ke surga?
Atau ke neraka? Kau belum bosan selama sembilan tahun di neraka? Sekarang juga
akan kukirim kau ke neraka yang sebenarnya...”
Baron
belum habis berbicara, dengan sigap aku memelintir tangannya dan merebut
pistolnya. Sebuah keahlian lama yang masih dapat kulakukan. Kutodongkan moncong
pistol ke kepala Baron. Ia kaget dan sangat ketakutan. Aku pun merasa gugup.
Tanganku gemetar. Sudah lama aku tidak memegang pistol seperti ini. Tetapi aku
sangat terbawa emosi dan darahku rasanya ingin mencuat dari pembuluhnya. Aku
semakin gugup dan gemetar lebih kencang. Tanpa kusadari pistol itu meledak,
memuntahkan pelurunya. Aku tak sengaja menarik pelatuknya. Aku kaget seketika
dan sempat memejamkan mata. Aku bergidik ngeri. Gumpalan-gumpalan merah kental
dan amis memenuhi lantai, sofa dan wajah serta tubuhku. Aku tersadar seketika.
Aku telah meledakkan kepala Baron hingga hancur. Apa yang telah kulakukan?
Seakan tidak percaya, aku berlari mengikuti naluriku. Kuterobos pintu belakang
rumah Baron. Aku terus berlari tanpa henti kembali ke rumah Revan. Aku harus
mengambil tasku dan pergi secepatnya, kalau tidak pasti aku tertangkap. Aku tak
mau kembali ke neraka itu lagi.
Aku
mencari tasku di dalam rumah Revan. Aku lupa di mana aku menaruhnya tadi.
Kutemukan tas itu di belakang sofa, segera kuraih dan kemudian melangkah ke
pintu. Tetapi kudengar suara berisik dari dalam kamar seperti orang yang sedang
mengobrak-abrik isi kamar. Aku sedikit penasaran dan berjalan perlahan ke kamar
itu.
“Revan...?!?!”.
Aku kaget seketika. Tangan dan baju Revan penuh dengan noda darah. Ia sibuk
memasukkan pakaiannya ke dalam tas.
“Kakak...!
Kita harus segera pergi sekarang, polisi sedang mencari kita.”
Revan
pasti baru saja melakukan kejahatan. Seperti aku yang baru saja membunuh Baron.
Sesaat aku menyesal, menyesali hidupku. Kenapa aku mesti dilahirkan dan mengapa
aku harus bertemu Revan? Kini aku merasa berdosa atas kejahatan yang ia
lakukan.
“Ayo
kak, kita pergi. Sebentar lagi polisi pasti datang. Aku tak mau mereka melacak
jejak kita.” Ia menarik tanganku menuju pintu.
“Kenapa
baju kakak berdarah?”, tanyanya dengan heran.
“Oh...
ini... a... a... aku...”, aku tergagap.
“Sudahlah
kak, nanti baru dijelaskan.”
“Tetapi
Revan, apa yang telah kau buat, sehingga polisi mengejarmu?”
“Aku
telah merobek jantung si tua itu dengan peluru. Kita pergi sekarang, tak ada
waktu lagi!”, kata Revan bangga.
Aku
langsung jatuh lemas dengan kedua lututku. Aku serasa tak bisa bergerak lagi.
Kesedihanku begitu dalam, mendengar kata-kata Revan. Ia coba menyadarkanku
dengan mengguncang-guncang tubuhku. Aku terus diam.
“Kakak...
kakak... ayo pergi kak”, ia menarik bahuku.
“Ja...
jadi, kamu yang telah membunuh Romo Daniel?”
“Iya
kak. Aku yang membunuhnya. Baron yang menyuruhku. Ia bilang kak pasti akan
senang kalau aku membunuhnya, karena orang tua itu selalu saja mengganggu
kakak. Aku ingin kakak bisa bahagia seperti dulu. Aku menyayangi kakak. Tanpa
kakak aku mungkin sudah mati di jalanan. Ayo kak jangan lama-lama lagi.”
Aku
terdiam seperti orang bodoh. Perasaanku begitu sakit. Adikku yang begitu
kusayangi, ternyata telah membunuh orang yang kubanggakan dan selama ini membantuku.
Pikiranku buntu dan aliran darahku berhenti. Revan terus menarik tanganku dan
memaksaku pergi.
“Brrrraaaakkk...”
“Tangan
di kepala... jangan bergerak... kalian telah dikepung.” Segerombolan polisi
dengan laras panjang teracung ke arahku dan Revan. Mereka mendobrak pintu
dengan cepat.
***
Neraka
ini begitu gelap dan pengap. Aku tak pernah mengira aku akan kembali ke sini
lagi. Aku harus menjalani hidupku beberapa tahun lagi di sini. Mungkin sisa
hidupku akan habis di sini.

JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.org