Senin, 27 Agustus 2012

Analisis Sosial Terhadap Realitas HIV/AIDS di Papua




 Punya blog, tapi masih bingung mau nulis apa. Maklum, masih baru sih. Hehehe.. 
Setelah pikir-pikir, akhirnya saya putuskan untuk memasukkan berbagai tulisan yang pernah saya buat, baik itu tugas, cerpen, opini, penelitian dan lain sebagainya.
Setelah masukkan cerpen sendiri yang judulnya "Di...", kali ini saya mau share tentang hasil analisis tentang REALITAS HIV/AIDS DI PAPUA. Sebenarnya tulisan ini adalah tugas kuliah yang saya buat pertengahan 2011 lalu, tapi mudah-mudahan saja layak untuk masuk dalam blog ini. So, tulisan ini masih jauh dari sempurna, kalau teman-teman mau mengeritik atau beri masukan, silahkan saja. Monggoooooooo..... :) Kalu mau di-Copas (Copy Paste) juga boleh asal dengan cara terhormat dengan menyertakan sumbernya untuk menghargai karya penulis, karena ini original buatan saya sendiri.. hehe, okay?? tancapp



ANALISIS TERHADAP REALITAS HIV/AIDS DI PAPUA

Pengantar
HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), sebuah realita sosial yang menjadi momok bagi masyarakat dunia dewasa ini. Penyakit ini dapat menular pada semua orang, dari bayi yang masih berada dalam kandungan sampai orang-orang tua renta yang siap menunggu ajal. Jalan penularan penyakit ini pun beragam, lewat hubungan seksual, penggunan jarum suntik, maupun narkoba. Sampai sekarang belum ditemukan obat yang paten untuk mengobati penyakit ini. Satu-satunya obat yang dikonsumsi oleh ODHA[1] ialah obat antiretrovital yang ditemukan sejak tahun 1996, namun itu belum juga memberikan hasil yang efektif, hanya sebagai daya tahan.
Jumlah penderita masih terus meningkat seiring dengan perjalanan waktu. Di Indonesia sendiri, sampai akhir 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS dilaporkan sebanyak 22.726 kasus yang tersebar di 32 provinsi. Kasus tertinggi didominasi usia produktif yaitu 20-29 tahun (47%), diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,9%), dan kelompok umur 40-49 tahun (9,1%). Dari jumlah itu 4.250 kasus atau 18,7% di antaranya meninggal dunia. Kasus terbanyak dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta, diikuti Jabar, Jatim, Papua, Bali, Kalbar, Jateng, Sulsel, Sumut, dan Riau[2]. Dari data yang diperoleh berdasarkan survailans tes HIV[3], Papua menduduki urutan pertama dengan 173,69 prevalensi per 100.000 penduduk[4]. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua yang hanya 1% dari seluruh penduduk Indonesia, atau sekitar 2,8 juta jiwa dari penduduk Indonesia[5] maka jelas bahwa HIV/AIDS bukanlah masalah sederhana. Penyebarannya telah mencapai tahap yang sangat kritis. Kita dapat membuat praduga bahwa bisa saja ada banyak kasus HIV/AIDS yang belum dilaporkan di Papua dan umumnya penderita yang terinfeksi virus HIV lebih tinggi dibandingkan jumlah kasus AIDS yang diketahui. Dr. Ronald Jonathan MSc, dalam seminar “Global Disease 2nd Continuing Professional Development” di Bandar Lampung pada akhir tahun 2009 mengatakan bahwa jumlah kasus terinfeksi HIV/AIDS hingga 2010 akan mencapai antara 93 ribu hingga 130 ribu kasus[6]. Hal ini berlaku sesuai prinsip fenomena gunung es. Jumlah penderita HIV/AIDS yang tampak atau yang dilaporkan hanyalah 5-10 persen dari jumlah keseluruhan. Sungguh ironi.
Mengingat pentingnya realita sosial seputar HIV/AIDS di Indonesia khususnya di Papua, maka dalam tulisan ini saya ingin membuat analisa kecil mengenai problem HIV/AIDS yang terjadi dalam zona Papua. Bentuk analisis ini saya bagi menjadi dua yakni analisis sejarah dan struktur. Analisis struktur saya kelompokkan menjadi dua bidang yakni dalam bidang ekonomi dan bidang budaya. Selanjutnya saya akan menyajikan pembagian masyarakat yang terkena dampak HIV/AIDS, diikuti dengan analisis terhadap level permasalahan. Di bagian akhir akan saya bagikan sedikit refleksi teologis HIV/AIDS.

Analisis Terhadap Realitas HIV/AIDS
1.  Analisis Sejarah
Kasus HIV/AIDS di tanah Papua memiliki sejarahnya tersendiri. HIV di Papua ditemukan pertama kali di Merauke pada tahun 1992[7]. Dikatakan bahwa HIV/AIDS dibawa oleh para nelayan asal Thailand dan para PSK yang berada di pesisir selatan Papua tersebut. Namun, di sini kita dapat menyelidiki dan menarik kesimpulan bahwa penyakit ini justru telah diderita jauh lebih lama dari waktu ditemukan itu. HIV/AIDS mungkin telah merasuk ke dalam tubuh masyarakat Papua sebagai akibat kontak dengan dunia luar, terutama dengan pendatang dari luar Papua telah terjadi bertahun-tahun sebelumnya.
Setelah ditemukan, kasus HIV/AID semakin meningkat dari tahun ke tahun dan menyebar ke seantero Papua. Tahun 2000, jumlah ODHA telah mencapai 427 orang. Jumlah ini kian meningkat sampai tahun 2006, tercatat 2770 terinfeksi virus ini. Di tahun yang sama, tercatat bahwa Timika menjadi tempat penyebaran HIV/AIDS tertinggi di Papua, sebanyak 1019 orang disusul Merauke sebanyak 834 orang[8]. Data terakhir yang diperoleh ialah bahwa pada tahun 2010 yang lalu, ODHA di Papua telah meningkat menjadi 3665 orang, dengan angka kematian mencapai 580 orang[9], suatu peningkatan yang cukup drastis.
Pertanyaan yang muncul ialah, bagaimana lonjakan angka penderita itu bisa sedemikian rupa? Apa peran dari pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam menanggulangi masalah ini? Penyakit ini memiliki karakter khusus karena amat berkaitan dengan perilaku seksual masyarakat. Kenyataan bahwa pemerintah telah mengadakan kampanye dan penyuluhan mengenai penyakit HIV/AIDS ini. Namun sampai saat ini belum terdapat suatu kebijaksanaan terpadu yang menunjukkan suatu political will yang kuat pada pemerintahan daerah untuk memerangi ‘bahaya maut’ ini. Suatu tim khusus didirikan untuk menangani problem tersebut dan bekerjasama dengan kelompok agama-agama dalam mensosialisasikan bahaya serius penyakit tersebut. Namun demikian, tampaknya tim kesehatan kewalahan dalam menghambat penyebaran penyakit HIV/ AIDS baik karena pelayanan kesehatan yang tidak mampu menjangkau seluruh sudut Papua maupun karena unsur pendukung perkembangan perilaku seksual bebas seperti perdagangan pekerja seksual, perdagangan miras, narkoba, industri hiburan malam, dan industri perjudian, tetap tak terkontrol secara efektif. Perang terhadap HIV/AIDS masih dipersulit karena pelbagai kepentingan ekonomis yang tidak mau diganggu: misalnya salah satu sumber penyebaran HIV/AIDS terdapat pada tempat pelayanan seks di pelosok-pelosok, dimana terdapat pengumpulan kayu gaharu; sama halnya dengan kompleks pelayanan seks pada perusahaan-perusahaan di pedalaman. Selain itu, ada suatu stigmatisasi, dimana masyarakat memiliki stereotip negatif terhadap ODHA, mendiskreditkan orang tersebut bahkan mendiskriminasinya dari kehidupan umum. Hal ini menjadikan orang untuk menolak memeriksakan kesehatannya karena takut jangan sampai ia tertular HIV/AIDS sehingga didiskriminasi oleh masyarakat di tempat asalnya. Di samping itu, pengetahuan yang tidak memadai tentang bahaya hubungan seksual ‘sembarangan’ atau tanpa pengaman juga memungkinkan seseorang cepat tertular HIV/AIDS.
Selain itu, muncul pula pertanyaan, mengapa sampai Timika menjadi daerah penyebaran HIV/AIDS terbesar di Papua? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita tentu tidak harus membuat suatu batasan yang ketat. Kita dapat saja mengaitkan dengan berbagai situasi dan faktor eksternal yang terjadi. Kita bisa saja menyebutkan beberapa aspek yang menciptakan realita seperti ini, misalnya kehadiran PT. Freeport di Timika yang menjadikannya ‘daerah uang’. Banyak pendatang dari daerah lain di Papua maupun dari luar Papua yang mencari peruntungan di Timika. Kehadiran mereka tentu tidak hanya membawa dampak positif, melainkan juga dampak negatif. Tingginya HIV/AIDS dapat saja menjadi salah satu akibat dari keadaan ini. Pertemuan dan hubungan antar manusia, yang mungkin saja tidak diketahui latar belakang kesehatannya, dapat mempercepat penyebaran epidemi ini. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa faktor penularan HIV/AIDS di Papua didominasi oleh hubungan seksual[10].

2. Analisis Struktur
Dalam analisis struktur ini, saya ingin menggali permasalahan seputar HIV/AIDS dalam dua bidang kehidupan, yakni ekonomi dan budaya.

a.    Analisa Ekonomi
Seperti telah dijelaskan sedikit dalam analisa sejarah di atas bahwa tanah Papua dijadikan sebagai tempat mengadu nasib berbagai masyarakat dari berbagai belahan bumi Indonesia. Alasannya, tanah Papua memiliki berbagai sumber daya yang dapat dijadikan sumber pemasukan dan untuk kelangsungan hidup. Dengan adanya pabrik di mana-mana, program-program pemerintah, dan pemekaran daerah di berbagai sudut Papua, menciptakan tawaran pekerjaan yang menggiurkan sehingga banyak orang hadir di tanah ini dengan berbagai profesi. Ada yang positif dan ada yang negatif, semuanya bertujuan untuk mencari kehidupan. Seorang wanita penjaja seks komersial (PSK) yang dianggap bekerja secara tidak halal pun mempunyai tujuan yang sama dengan orang yang bekerja secara halal, yakni mencari uang guna hidup. Meskipun tujuan PSK itu baik, di lain pihak timbul dampak negatif karena bentuk pekerjaannya sebagai objek pemuas nafsu yang sangat rentan terhadap HIV/AIDS. Ditambah lagi kenyataan bahwa dewasa ini orang dapat melakukan segala cara demi mendapatkan apa yang diinginkan bagi dirinya. Seorang wanita yang bukan penjaja seks sekalipun, dapat menyerahkan anggota tubuhnya yang paling berharga guna memperoleh keinginannya. Seorang pria baik-baik, bahkan tokoh pejabat yang seharusnya menjadi panutan rakyat, dapat menyimpang dari nilai-nilai bersama demi memuaskan nafsunya. Tak dipungkiri pula berbagai faktor lain pun membawa dampak HIV/AIDS dalam masyarakat. Kita dapat menyebutkan miras, judi, narkoba dan berbagai hal lain sebagai jalan menuju HIV/AIDS.
Menjadi jelas bahwa penyakit ini tidak bisa ditanggulangi dari segi medis belaka seperti halnya penyakit yang lain. Penanggulangan dan pencegahannya harus didasarkan pada kebijakan pemerintah dalam menangani perdagangan Pekerja Seks Komersial (PSK), minuman keras, narkotika, dan industri perjudian, dan dalam menangani kegiatan ekonomis yang resmi maupun liar. Selama perangkat hukum dan tindakan hukum tidak tegas dan tidak efektif, kiranya penyakit HIV/AIDS hanya akan meningkat makin tajam. Jika kita mengambil contoh bagaimana kelompok ibu-ibu di Biak, Timika, Merauke, dan Wamena berdemo soal Miras, judi, dan PSK, kiranya terindikasi secara kuat bahwa pemerintah belum mengambil tindakan yang sistematik guna mengurangi dan mencegah penyebaran penyakit mematikan itu.
Semua hal saling kait-mengait, tumpang tindih, dan berbelit-belit. Apa yang kelihatan sebagai suatu permasalahan ternyata memiliki akar-akar yang panjang. Namun, satu tujuan yang pasti ialah adanya hubungan kuat dengan faktor ekonomi. Rumusan yang secara singkat dapat saya berikan terhadap analisa di bidang ini ialah, tanah Papua sebagai sumber kehidupan, tempat di mana banyak orang dari berbagai latar belakang datang, bertemu, berhubungan, dan akibat negatif yang terjadi ialah timbul berbagai macam problem sosial, salah satunya penyebaran HIV/AIDS yang semakin hari semakin tinggi.

b.          Analisa Budaya
Perilaku seksual yang salah kiranya dapat menjadi faktor utama tingginya penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya. Mungkin saja masyarakat belum memiliki kesadaran untuk mengendalikan perilaku seksualnya. Faktor lain pun menjadi alasan mengapa perilaku seksual tidak dapat dikontrol dengan baik. Masuknya berbagai jenis miras, perjudian dan hiburan membuat masyarakat terlena. Glamor kehidupan modern dengan berbagai tawaran hedonistis dan materialistis membuat masyarakat lupa akan nilai-nilai luhur yang pernah ditanam lewat adat-istiadat dan ajaran agama. Akibatnya, kontrol terhadap kehidupan pun seakan sirna begitu saja.
Di lain pihak, ditemukan beberapa budaya tradisional yang ternyata meluruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi nampak, budaya tersebut pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Misalnya saja, upacara Ezam Uzum pada suku Marind-Anim. Pada ritus adat ini kepala adat atau pemimpin upacara mengadakan hubungan seksual dengan ibu-ibu janda sebanyak tiga sampai lima orang ibu. Tujuannya ialah untuk mendapatkan sperma yang akan digunakan untuk kepentingan upacara, karena sperma melambangkan kesucian dan dapat mengusir setan[11]. Di samping itu, adanya budaya poligami dalam masyarakat pun menjadi salah satu faktor cepatnya penularan HIV/AIDS. Poligami mengandaikan adanya hubungan seksual berganti pasangan, ini merupakan penyebab timbulnya penyakit kelamin yang berujung pada HIV/AIDS. Aspek budaya ini setidaknya berhubungan dengan penghayatan hidup perkawinan. Jika budaya telah mencanangkan seperti itu, kesetiaan hidup perkawinan dipertaruhkan.
Menurut pengakuan Kebena, seorang penderita HIV positif dari Pegunungan Bintang, dirinya tertular melalui hubungan seksual secara bebas. Pada umumnya, para orang tua di daerah Kebena mendidik anak dengan keras. Anak dilarang pacaran atau berhubungan dengan lelaki lain. Maka, anak-anak pacaran secara sembunyi-sembunyi, di hutan atau tempat yang jauh dari rumah[12]. Secara adat hal ini dapat dibenarkan, namun jika kita melihat secara jeli akibat yang dapat ditimbulkan, kita dapat mengatakan bahwa kebijakan orang tua tersebut adalah hal yang keliru. Anak-anak pacaran jauh dari rumah (hutan), kontrol terhadap anak pun berkurang. Akibatnya, perilaku seksual yang menyimpang dapat saja terjadi.
Kiranya masih banyak faktor budaya yang dapat dianalisis sebagai penyebab realita yang terjadi. Faktor-faktor tersebut pun akan saling berhubungan dan menciptakan masalah demi masalah. Tidak gampang mengubah suatu budaya atau kebiasaan yang telah lama dilakukan oleh masyarakat. Tetapi usaha-usaha positif untuk menyadarkan masyarakat harus terus digalakkan. Peran dari berbagai instansi yang berlandaskan keprihatinan harus terus ditumbuhkan agar tidak tercipta suatu budaya baru yang justru akan menghancurkan masyarakat di tanah Papua, yakni budaya HIV/AIDS.

3.  Pembagian Masyarakat
Sejauh data yang saya peroleh, tidak disebutkan pembagian masyarakat yang jelas mengenai penyakit ini. Tidak pernah disebutkan pembagian ras, seks, kelas, etnis, maupun agama. Saya hanya menemukan pembagian berdasarkan umur (seperti yang tertera dalam pengantar di atas) dan pembagian berdasarkan geografis. Maka dalam bagian ini, saya menyajikan suatu tabel penyebaran HIV/AIDS di Papua berdasarkan data tahun 2006[13].
No.
Daerah
Jumlah
1.
Timika
1019
2.
Merauke
834
3.
Kota Jayapura
236
4.
Biak
208
5.
Sorong
153
6.
Kabupaten Jayapura
119
7.
Nabire
117
8.
Fak-Fak
31

Timika menjadi daerah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi, diikuti dengan Merauke dan Kota Jayapura serta berbagai daerah lainnya. Laporan terakhir tahun 2010 menyebutkan bahwa sebanyak 1.536 warga tujuh suku di Kabupaten Mimika (Timika) telah terinfeksi HIV/AIDS. Data sebelumnya (tahun 2009) mencatat bahwa jumlah ibu rumah tangga di Timika yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak 551 orang dan warga yang mempunyai pekerjaan tidak tetap yang terinfeksi sebanyak 600 orang. Sedangkan kelompok umur yang terbanyak menderita penyakit ini yakni antara 20-29 tahun[14].
Menjadi jelas bahwa HIV/AIDS bukan lagi melingkupi para pekerja seksual, para pelaku perilaku seksual yang salah atau para pengguna narkoba. HIV/AIDS kini merangsek masuk ke dalam kehidupan masyarakat umum. Para ibu rumah tangga pun juga terkena penyakit ini. Hal ini turut menambah kritis realitas HIV/AIDS. Bukan hanya itu saja, penderita paling banyak ialah orang-orang muda. Bagaimana masa depan tanah ini dapat terjamin jika orang-orang muda telah terbius oleh penyakit mematikan ini? Sekali lagi saya katakan bahwa dibutuhkan suatu sikap prihatin yang kuat dibarengi usaha konkrit demi menanggulangi masalah ini.

4.   Level Permasalahan
Pada pengantar telah dijelaskan bahwa HIV/AIDS adalah masalah universal. Kiranya tidak ada tempat di bumi ini yang tidak terhindar dari bahaya HIV/AIDS dan penularannya. Perbedaan hanya terletak pada kuantitas penularan dan penderitanya. Permasalahan HIV/AIDS di Papua bukanlah milik Papua sendiri tetapi merupakan milik universal. Setiap masyarakat berjuang untuk menghindari dan menyelesaikan problem ini. Ada yang berhasil menekan angka HIV/AIDS, namun ada juga yang masih dalam proses menuju suatu masyarakat yang bebas dari HIV/AIDS. Di Papua sendiri pemberantasan terhadap HIV/AIDS bukanlah usaha yang gagal. Ada berbagai pihak yang terus mencari jalan memutuskan mata rantai penyebaran epidemi ini, baik pemerintah, LSM, maupun orang-orang yang memiliki keprihatinan besar. Kita pun hendaknya memiliki semangat dan kepedulian tinggi terhadap realitas sosial ini. Berbagai keberhasilan dalam menekan HIV/AIDS yang pernah terjadi di belahan bumi lain hendaknya menjadi pendorong bagi kita guna melenyapkan momok masyarakat ini.

               Kesimpulan
Permasalahan seputar HIV/AIDS ini bagaikan fenomena gunung es. Apa yang kelihatan di permukaan hanyalah bagian kecil dari yang tersembunyi di bawahnya. Berbagai faktor penyebab masalah ini harus terus digali dan digerus agar mata rantai penularan dapat kita putuskan. Di bawah dari apa yang kelihatan ialah ‘bongkahan raksasa’ yang merupakan akar dari realitas ini. Analisis di atas kiranya sedikit menjawab tentang ‘bongkahan raksasa’ yang tersembunyi itu. Di balik penularan HIV/AIDS, faktor ekonomi dan budaya ternyata memegang peran sentral. Kedua faktor itu semakin hari semakin kokoh sehingga penyebaran HIV/AIDS semakin menjadi-jadi, data kuantitatif seputar HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun. Tidak hanya di Papua, di Indonesia pun angka itu terus menanjak. HIV/AIDS pun telah merangsek masuk ke dalam pelbagai segi kehidupan manusia, dalam pelbagai profesi dan usia. Secara nyata, generasi muda menjadi korban virus mematikan ini. Hal-hal itu menjelaskan bahwa realita sosial di Indonesia, khususnya Papua sudah sangat parah. Maka, usaha membongkar realita sosial ini perlu dilakukan oleh semua pihak yang memiliki kesadaran dan keprihatinan sosial.

Refleksi Teologis


Orang sering beranggapan bahwa HIV/AIDS adalah kutukan dari Tuhan. Penyakit kutukan itu disebabkan karena orang sering melanggar perintah Tuhan, acuh-tak acuh, dan terus saja mencari kenikmatan yang berujung dosa. Sepanjang sejarah bukan hanya kali ini penyakit dipakai sebagai kutukan Tuhan. Dalam Alkitab, contohnya penyakit kusta pernah dianggap sebagai kutukan. Orang yang menderita penyakit ini akan dianggap najis dan diperlakukan secara diskriminatif. Di dalam Perjanjian Baru, orang-orang yang menderita epilepsi tidak jarang disebut orang yang kerasukan setan. Namun tentu saja pendapat seperti ini adalah suatu pandangan yang salah dan berbahaya. Pandangan seperti ini terus mempengaruhi pemahaman masyarakat hingga saat ini, dimana orang memahami HIV/AIDS sebagai manifestasi dosa dan kutukan.
AIDS memang merupakan suatu  penyakit yang amat mengerikan dan berbahaya. Dengan seluruh upaya, seharusnya kita bekerja keras menangkal dan mengatasinya, bukan menyebarkan ketakutan dan histeria yang lebih besar lagi dengan mengatakan bahwa AIDS adalah kutukan Tuhan, lalu mendiskriminasi ODHA yang ada di sekitar kita. Memandang AIDS sebagai kutukan Tuhan adalah sebuah pendekatan yang tidak berpihak pada korban. Apakah bayi-bayi itu dikutuk Tuhan dengan terinfeksi HIV ibu atau ayahnya? apakah perempuan itu dikutuk Tuhan padahal dia ditulari HIV oleh suaminya? Meskipun pandangan di atas tidak bisa kita hindari, namun pendekatan teologis yang perlu kita kembangkan adalah pendekatan teologis yang berempati terhadap korban yaitu mereka yang terinfeksi HIV/AIDS. Pendekatan yang menghakimi korban akan semakin memperburuk keadaan korban. Untuk itu pendekatan yang berempati terhadap korban adalah hal yang lebih tepat untuk dikembangkan dalam konteks pergumulan HIV di Indonesia, khususnya di tanah Papua.
Dalam Lukas 4 : 18-19 Yesus menyatakan bahwa ia datang untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Bagian ini adalah bagian yang dikutip oleh Yesus ketika ia ditolak di Nazaret. Apa maksud Yesus? Di sini ia hendak memperingatkan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat, sudah datang dan bahkan berada di antara kita. Kedatangan Kerajaan Allah adalah inti Injil. Dalam kerajaan Allah itu tidak akan ada lagi yang kaya dan miskin, yang menindas dan yang tertindas, yang mempermainkan dan yang tidak berdaya. Dalam hal ini Yesus menghadirkan diri bagi mereka yang tak berdaya, termasuk mereka yang menderita HIV/AIDS. Di samping itu, kita sebagai murid Yesus, juga berperan untuk menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini. Peran kita untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini sangat terkait dengan apa yang telah dikatakan dan diteladankan pada kita oleh Yesus. Itulah tugas kita sebagai murid-Nya yaitu menyampaikan kabar baik kepada orang miskin yang menderita dan yang tidak berdaya. Dalam tugas panggilan kita sebagai murid Kristus, tindakan yang perlu dilakukan adalah tindakan yang menopang, menghibur, dan mendampingi mereka yang terinfeksi HIV/AIDS. Penekanan kita terhadap masalah HIV/AIDS ini hendaknya tidak saja berfokus pada program-program pencegahan yang lebih banyak bersifat medis atau bahkan moralitas. Sementara pendampingan kepada orang- orang yang menderita HIV/AIDS justru seringkali diabaikan. Penderitaan mereka dipandang sebelah mata. Dalam hal ini kita perlu membangun kesadaran untuk hadir bersama dengan mereka yang menderita HIV/AIDS, menyampaikan kabar baik mengenai Kerajaan Allah lewat kepedulian dan kasih sayang kita kepada mereka. Kepedulian dan kasih sayang kepada mereka hendaknya diwujudkan dalam tindakan-tindakan konkrit berupa penyadaran dan sosialisasi mengenai hak-hak reproduksi perempuan, penyadaran dan sosialisasi mengenai kesetaraan relasi pria dan wanita, membongkar stigma-stigma dan stereotip di masyarakat yang selama ini telah mempengaruhi pikiran masyarakat untuk memperlakukan para korban penderita HIV/AIDS dengan cara yang negatif. Penegakan hukum terhadap kasus-kasus yang melanggar hak-hak reproduksi kaum perempuan perlu diperhatikan. Dengan demikian diharapkan penyebaran penyakit ini, khususnya di tanah Papua akan semakin ditekan dan menampilkan hasil yang positif demi masa depan tanah ini.



[1] Singkatan dari: Orang Dengan HIV AIDS.
[2] Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jendral Kementrian Kesehatan RI, Kasus AIDS Didominasi Usia Produktif (www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1338-kasus-aids-didominasi-usia-produktif.html).
[3] Mencari prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan tertentu pada kurun waktu yang tertentu pula.
[4] Ditjen PP & PL Depkes RI, Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia, dokumen pdf (update terakhir 25 Januari 2011) hlm 3.
[5] Media Indonesia, Jumlah Penduduk Papua 2,8 Juta (diposkan Senin, 16 Agustus 2010, www.mediaindonesia.com/index.php/welcome/mobile/2010/08/16/162618/130/101/Jumlah-Penduduk-Papua-28-Juta).
[6] Antara News, Penderita HIV/AIDS Tahun 2010 Capai 130.000 orang (www.antaranews.com/berita/1258288316/penderita-hiv-aidstahun-2010-capai-130000-orang).
[7] Kompas, Teropong: Selamatkan Suku Asmat dari Miras dan HIV/AIDS (18 November 2002).
[8] Metro Realitas, AIDS Mengepung Papua (Siaran Rabu, 13 Desember 2006).
[9] Ditjen PP & PL Depkes RI, loc. cit.
[10] Metro Realitas, loc. cit.
[11] A.E Dumatubun, Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Bangsa Marind-Anim, Artikel Antropologi Papua, dokumen pdf (Universitas Cenderawasih: Jayapura, 2003) hlm 9.
[12] Metro Realitas, loc. cit.
[13] Metro realitas, loc. cit.
[14] Tempo Interaktif, Jumlah Penderita HIV/AIDS Papua Capai 1.536 Orang (diposkan Sabtu, 27 Februari 2010, m.tempointeraktif.com/2010/02/27/228613/).

2 komentar:

  1. Obat herbal Dr. Imoloa yang luar biasa adalah obat penyembuhan yang sempurna untuk Virus HIV, saya mendiagnosis HIV selama 8 tahun, dan setiap hari saya selalu mencari penelitian untuk mencari cara sempurna untuk menghilangkan penyakit mengerikan ini karena saya selalu tahu bahwa yang kita butuhkan karena kesehatan kita ada di bumi. Jadi, pada pencarian saya di internet saya melihat beberapa kesaksian berbeda tentang bagaimana Dr. imoloa dapat menyembuhkan HIV dengan obat herbal yang kuat. Saya memutuskan untuk menghubungi pria ini, saya menghubunginya untuk obat herbal yang saya terima melalui layanan kurir DHL. Dan dia membimbing saya bagaimana caranya. Saya memintanya untuk solusi minum obat herbal selama dua minggu. dan kemudian dia menginstruksikan saya untuk pergi memeriksa yang saya lakukan. lihatlah aku (HIV NEGATIF). Terima kasih Tuhan untuk dr imoloa telah menggunakan obat herbal yang kuat untuk menyembuhkanku. ia juga memiliki obat untuk penyakit seperti: penyakit parkison, kanker vagina, epilepsi, Gangguan Kecemasan, Penyakit Autoimun, Nyeri Punggung, Keseleo, Gangguan Bipolar, Tumor Otak, Ganas, Bruxisme, Bulimia, Penyakit Disk Serviks, Penyakit Kardiovaskular, Penyakit Kardiovaskular, Neoplasma, kronis penyakit pernapasan, gangguan mental dan perilaku, Cystic Fibrosis, Hipertensi, Diabetes, asma, radang sendi yang dimediasi autoimun. penyakit ginjal kronis, penyakit radang sendi, sakit punggung, impotensi, spektrum alkohol feta, Gangguan Dymyme, Eksim, kanker kulit, TBC, Sindrom Kelelahan Kronis, sembelit, penyakit radang usus, kanker tulang, kanker paru-paru, sariawan, kanker mulut, tubuh nyeri, demam, hepatitis ABC, sifilis, diare, Penyakit Huntington, jerawat punggung, gagal ginjal kronis, penyakit addison, Penyakit Kronis, Penyakit Crohn, Cystic Fibrosis, Fibromyalgia, Penyakit Radang Usus Besar, penyakit kuku jamur, Penyakit Kelumpuhan, penyakit Celia, Limfoma , Depresi Besar, Melanoma Ganas, Mania, Melorheostosis, Penyakit Meniere, Mucopolysaccharidosis, Multiple Sclerosis, Distrofi Otot, Rheumatoid Arthritis, Penyakit Alzheimer, email- drimolaherbalmademedicine@gmail.com / hubungi atau {whatssapp ..... +2347081986098. }

    BalasHapus
  2. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.org

    BalasHapus