Kamis, 16 Agustus 2012

".....Di"



Terali besi itu terbuka lebar. Suasana yang sudah kutunggu-tunggu sejak 9 tahun yang lalu. Hatiku berbunga. Sudah lama kunantikan saat ini. Kini aku bisa bebas. Bebas dari hukuman, bebas dari kesengsaraan, bebas dari pengap penjara, bebas dari vonis pahit, bebas dari ketukan palu hakim. Semuanya telah kujalani selama ini. Sekarang aku ingin menghirup udara kebebasan dan mengubah hidupku. Aku sudah tobat berada di penjara dan aku tak ingin lagi. Aku telah berjanji pada Tuhan, aku yakin Ia pasti menolongku.
            Sembilan tahun yang lalu aku memang seorang penjahat, perampok besar yang tak kenal belas kasihan. Aku tak pernah kenal takut dan kejam menganiaya korbanku. Dulu hidupku hancur tapi aku berjaya. Dibenci di mana-mana, dikutuk semua orang. Keburukanku terkenal di seluruh penjuru daerah. Namaku hanya menghadirkan kengerian dan ketakutan bagi orang yang mendengarnya. Aku punya banyak isteri, anakku pun banyak, kebanyakan tidak kukenali, atau mungkin mereka yang tak mau mengenal aku. Hartaku berlimpah, semua kemewahanku merupakan hasil dari pekerjaan bejatku. Anehnya, -aku pun masih merasa heran sendiri- bertahun-tahun aku selalu lolos dari kejaran pihak berwajib. Mereka tak pernah berhasil mencium gerak-gerikku apalagi menyentuhku. Mungkin karena cara kerjaku dan anak buahku yang jeli dan profesional. Profesional cara kami sendiri, asalkan pandai menghilangkan bukti dan jejak. Sampai suatu kali, timah panas polisi berhasil menembus kulitku dalam suatu penyergapan dan pengejaran. Hari itu aku sangat takut, nyaliku menjadi begitu ciut dan sepertinya aku akan mati. Aku dihujani begitu banyak tamparan dan tendangan oleh polisi dan warga. Rajaman batu pun tak luput. Bahkan sampai di pengadilan pun, masih banyak orang yang ingin main hakim atas diriku. Aku bagaikan singa ganas yang berhasil dilumpuhkan setelah sekian lama diburu karena meresahkan warga.
            “Ini pakaian, uang dan barang-barangmu yang kau tinggalkan di sini sembilan tahun yang lalu... Pergilah aku tak mau melihatmu kembali lagi ke sini”, kata sipir penjara sambil menyerahkan barang-barangku. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
            Kakiku melangkah bebas keluar dari penjara itu. Kuhirup udara kebebasan ini, sungguh menyejukkan. Sepertinya aku baru keluar dari neraka. Aku menoleh kembali ke neraka itu, dalam hati aku bersumpah takkan kembali ke sana lagi. Kini aku tak punya rumah lagi. Semuanya telah disita oleh negara karena merupakan hasil kejahatan. Tetapi aku tahu tempat pertama yang harus kukunjungi setelah dari penjara ini. Aku mau ke Kapela untuk berdoa. Aku ingin bersyukur kepada Tuhan yang telah mengijinkan aku untuk merubah hidupku. Aku telah sadar akan semua perbuatan jahat yang selama ini kulakukan. Aku telah membayarnya dengan meringkuk sembilan tahun di penjara. Aku yakin Tuhan pasti mau menerimaku lagi.
            Selesai berdoa di Kapela, aku pergi menemui Romo Daniel di pastoran. Ia adalah pastor yang membimbingku selama di penjara. Beliau yang menuntun aku menuju pertobatan dan mengajarkan aku untuk mencintai Tuhan dan hidup lurus sesuai kehendak-Nya. Aku menganggapnya seperti ayahku sendiri. Selama di penjara aku telah menceritakan tentang diriku dan menumpahkan isi hatiku padanya. Aku begitu mengasihinya dan merasa berhutang padanya.
            “Bersyukurlah pada Tuhan karena kamu bisa menjalani hukuman dan kini bisa merasakan kebebasan”, katanya ketika aku menemuinya di pendopo pastoran.
            “Iya Romo... Terima kasih juga Romo, karena telah membimbing dan membina iman dan diri saya selama di penjara. Semuanya sangat berarti bagi saya dan semua itu tak mampu saya balas.”
            “Tidak perlu... yang penting sekarang kamu mau hidup dengan baik, meninggalkan segala kejahatan dan menjadi manusia baru. Tuhan senang kalau kamu bertobat.”
            “Betul Romo... saya sudah berjanji pada Tuhan untuk berubah, Romo yang jadi saksi atas janji saya ini.”
            Romo Daniel memelukku, air mataku bercucuran begitu deras. Aku menangis keras seperti seorang anak kecil, menangisi semua dosaku seraya berterima kasih kepada Tuhan. Romo memberkatiku sebelum aku melangkahkan kaki dari pintu rumah pastoran.
***
            Sudah sebulan ini aku tinggal di rumah adikku Revan. Ia adalah satu-satunya kelurga yang aku miliki, walaupun ia adalah adik angkatku. Empat belas tahun yang lalu aku mengajaknya untuk ikut bersamaku ketika ia masih berkeliaran di jalanan. Aku melihat bahwa ia memiliki bakat kejahatan yang cukup sempurna sehingga aku mulai mengajarinya. Ia pun sering ikut dalam setiap aksiku dan mulai belajar banyak hal dariku. Selama aku di penjara, ia pun selalu menjenguk dan menanyakan keadaanku. Ia selalu bilang, “Kak... kalau nanti kakak bebas, aku ingin kita bisa beraksi seperti dulu lagi...”. aku selalu terdiam setiap kali ia berkata seperti itu. Aku ingin berkata, “Itu tidak mudah Van... Aku sudah bertobat”, tapi aku malu. Aku malu atas kebodohanku sendiri. Aku yang menanamkan beribu benih kejahatan di dalam dirinya. Kini benih itu telah bertumbuh dan mengakar kuat. Bagaimana aku harus mencabutnya satu per satu?
Kuakui bahwa sesudah aku di penjara, Revan menggantikan posisi dan popularitasku. Ia mulai terlibat dalam berbagai aksi dan menunjukkan bakat kejahatan seperti yang aku wariskan. Aku bingung harus berbuat apa. Aku betul-betul menyayangi Revan seperti adik kandungku sendiri, namun yang kusesalkan ialah kebejatannya, ya kebejatanku sendiri yang menjadi pemicunya. Revan pun selalu mengajakku untuk beraksi lagi, tapi aku menolaknya dengan alasan belum siap. Aku ingin sekali meninggalkan rumah Revan. Aku takkan bisa berubah kalau keadaan seperti ini.
            Selain itu, salah satu temanku -Baron- selalu mendatangi aku. Aku pun menganggapnya sebagai saudara karena kami berteman sejak kecil dan dialah orang yang sangat kupercayai. Namun yang tak kusukai ialah bahwa ia selalu membujuk aku untuk kembali ke dunia hitam, bergulat dengan kejahatan seperti dulu. Padahal ia tahu bahwa aku ingin bertobat dan tak mau seperti dulu lagi. Suatu hari ia berkata kepadaku:
            “Di..., kalau kamu mau, kamu bisa kaya seperti dulu lagi. Buat apa hidup seperti ini? Kamu ‘gak ingat masa jaya dulu? Kamu senang-senang dan hidup enak.”
            “Tidak Ron..., aku sudah berubah. Aku tak mau seperti dulu lagi. Kamu pun harus berubah, pasti bisa. Tuhan masih menerima kita, sebesar apapun dosa kita.”
            “Hah.....? Tuhan? Sejak kapan kamu ingat Tuhan, Di? Aku tak berdoa pun hidupku tetap nyaman. Aksiku sukses, hartaku berlimpah. O... aku tahu, pasti karena pastor bajingan di penjara itu ya... Dia pasti sudah mencuci otakmu dengan Tuhannya. Kalau mau biar nanti kusumpal saja mulutnya supaya tak bisa mempengaruhimu lagi.”
            Dadaku panas, darahku mendidih seketika mendengar kata-katanya. Langsung kuhantam kepalanya dengan gelas yang ada di tanganku sampai gelas itu pecah. Cairan merah kental mengalir di antara kedua matanya. Ia mengerang kesakitan.
            “Kurang ajar, apa kamu bilang?” aku berteriak sambil maju ke arahnya dan mengepalkan tinjuku. Ia pun semakin mundur sambil memegang kepalanya dan melihat jemarinya yang penuh darah.
            “Oke... oke... Di, aku menyerah. Tapi hari ini kamu telah salah betindak. Persahabatan kita telah hancur. Lihat saja... kamu akan menyesal dengan pilihanmu itu.”
            “Kamu yang akan menyesal, Ron. Ini pilihanku, tak ada yang boleh menghalangiku.”
            Baron pergi sambil menyumpah dan memaki-maki. Aku sendiri menyesal karena telah melukainya. Dan kini persahabatan kami telah hancur. Aku tahu dia, sampai kapan pun ia takkan memaafkan aku. Tetapi bagaimanapun juga, sikapnya yang buruk itu takkan pernah mampu bersanding dengan keinginanku untuk merubah hidupku. Sejenak aku terdiam dan merenung, bagaimana aku bisa berubah kalau aku sendiri tak bisa mengendalikan amarahku? Ah... coba saja aku punya hati yang pemaaf, sabar menanggung salib yang Tuhan berikan dan dengan cinta kasih menanamkan Tuhan dalam hati orang lain, seperti Romo Daniel. Aku merasa begitu rindu padanya. Aku ingin mendengarkan nasihat-nasihatnya serta menghayati sabda Tuhan yang ia sampaikan padaku. Kuputuskan dalam waktu dekat, aku harus pergi dari rumah Revan. Aku tak tahan lagi kalau harus terus tinggal di sini. Aku akan pergi kalau Revan tidak ada di rumah. Kalau ia ada, ia pasti akan menghalangiku dan aku tak tahan menghadapinya serta menatap bola matanya karena aku malu...
***

            Kumasukkan semua pakaianku ke dalam tas dengan terburu-buru. Sejak semalam Revan tak ada di rumah. Katanya ia pergi ke luar kota untuk menyelesaikan urusannya. Aku sendiri tak ingin tahu apa urusannya. Pasti hanya berhubungan dengan kejahatan. Mudah-mudahan aku sudah pergi jauh ketika ia datang supaya ia tak bisa mendapatiku lagi. Aku baru saja mau keluar dari rumah ketika mataku terpaku pada layar televisi yang sedang menyiarkan sebuah berita. Jantungku serasa ingin copot. Aku tertegun. Kulempar sembarang tas pakaianku ketika aku melompat keluar dari pintu dengan emosi yang menyala-nyala.
***
            Kumasuki halaman rumah Baron tanpa ada yang menghalangi. Semua anak buahnya seperti ketakutan melihat kedatanganku yang tiba-tiba.
            “Baron... keluar kau bangsat...”, teriakku di depan pintu rumahnya.
            Aku lalu masuk dengan paksa ke dalam rumahnya. Kudapati dia sedang tertidur pulas di sofa ruang tamunya. Kuhancurkan meja kaca di samping sofanya hingga hancur berkeping-keping. Ia langsung terbangun karena kaget.
            “Di..., ada apa ini...?”
            “Apa yang kau lakukan bangsat?”, kucekik lehernya.
            “Maksudmu?”, ia mencoba berontak tapi tak cukup kuat untuk melawanku.
            “Kau yang membunuh Romo Daniel. Aku takkan memaafkanmu!”
            “Ha...ha...ha...”, ia tertawa dan dengan cepat mencabut pistol dari balik bajunya dan menempelkannya di pelipisku. Aku melepaskan cengkeramanku.
            “Kalau aku yang membunuhnya, kau mau apa hah...? Kamu lihat ‘kan, si pastor tua itu tak ada apa-apanya. Sekarang ia sudah mati. Apa kamu mau ikut dia ke surga? Atau ke neraka? Kau belum bosan selama sembilan tahun di neraka? Sekarang juga akan kukirim kau ke neraka yang sebenarnya...”
            Baron belum habis berbicara, dengan sigap aku memelintir tangannya dan merebut pistolnya. Sebuah keahlian lama yang masih dapat kulakukan. Kutodongkan moncong pistol ke kepala Baron. Ia kaget dan sangat ketakutan. Aku pun merasa gugup. Tanganku gemetar. Sudah lama aku tidak memegang pistol seperti ini. Tetapi aku sangat terbawa emosi dan darahku rasanya ingin mencuat dari pembuluhnya. Aku semakin gugup dan gemetar lebih kencang. Tanpa kusadari pistol itu meledak, memuntahkan pelurunya. Aku tak sengaja menarik pelatuknya. Aku kaget seketika dan sempat memejamkan mata. Aku bergidik ngeri. Gumpalan-gumpalan merah kental dan amis memenuhi lantai, sofa dan wajah serta tubuhku. Aku tersadar seketika. Aku telah meledakkan kepala Baron hingga hancur. Apa yang telah kulakukan? Seakan tidak percaya, aku berlari mengikuti naluriku. Kuterobos pintu belakang rumah Baron. Aku terus berlari tanpa henti kembali ke rumah Revan. Aku harus mengambil tasku dan pergi secepatnya, kalau tidak pasti aku tertangkap. Aku tak mau kembali ke neraka itu lagi.
            Aku mencari tasku di dalam rumah Revan. Aku lupa di mana aku menaruhnya tadi. Kutemukan tas itu di belakang sofa, segera kuraih dan kemudian melangkah ke pintu. Tetapi kudengar suara berisik dari dalam kamar seperti orang yang sedang mengobrak-abrik isi kamar. Aku sedikit penasaran dan berjalan perlahan ke kamar itu.
            “Revan...?!?!”. Aku kaget seketika. Tangan dan baju Revan penuh dengan noda darah. Ia sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas.
            “Kakak...! Kita harus segera pergi sekarang, polisi sedang mencari kita.”
            Revan pasti baru saja melakukan kejahatan. Seperti aku yang baru saja membunuh Baron. Sesaat aku menyesal, menyesali hidupku. Kenapa aku mesti dilahirkan dan mengapa aku harus bertemu Revan? Kini aku merasa berdosa atas kejahatan yang ia lakukan.
            “Ayo kak, kita pergi. Sebentar lagi polisi pasti datang. Aku tak mau mereka melacak jejak kita.” Ia menarik tanganku menuju pintu.
            “Kenapa baju kakak berdarah?”, tanyanya dengan heran.
            “Oh... ini... a... a... aku...”, aku tergagap.
            “Sudahlah kak, nanti baru dijelaskan.”
            “Tetapi Revan, apa yang telah kau buat, sehingga polisi mengejarmu?”
            “Aku telah merobek jantung si tua itu dengan peluru. Kita pergi sekarang, tak ada waktu lagi!”, kata Revan bangga.
            Aku langsung jatuh lemas dengan kedua lututku. Aku serasa tak bisa bergerak lagi. Kesedihanku begitu dalam, mendengar kata-kata Revan. Ia coba menyadarkanku dengan mengguncang-guncang tubuhku. Aku terus diam.
            “Kakak... kakak... ayo pergi kak”, ia menarik bahuku.
            “Ja... jadi, kamu yang telah membunuh Romo Daniel?”
            “Iya kak. Aku yang membunuhnya. Baron yang menyuruhku. Ia bilang kak pasti akan senang kalau aku membunuhnya, karena orang tua itu selalu saja mengganggu kakak. Aku ingin kakak bisa bahagia seperti dulu. Aku menyayangi kakak. Tanpa kakak aku mungkin sudah mati di jalanan. Ayo kak jangan lama-lama lagi.”
            Aku terdiam seperti orang bodoh. Perasaanku begitu sakit. Adikku yang begitu kusayangi, ternyata telah membunuh orang yang kubanggakan dan selama ini membantuku. Pikiranku buntu dan aliran darahku berhenti. Revan terus menarik tanganku dan memaksaku pergi.
            “Brrrraaaakkk...”
            “Tangan di kepala... jangan bergerak... kalian telah dikepung.” Segerombolan polisi dengan laras panjang teracung ke arahku dan Revan. Mereka mendobrak pintu dengan cepat.
***
            Neraka ini begitu gelap dan pengap. Aku tak pernah mengira aku akan kembali ke sini lagi. Aku harus menjalani hidupku beberapa tahun lagi di sini. Mungkin sisa hidupku akan habis di sini.
            Semalam Romo Daniel datang dalam mimpiku. Ia seperti malaikat bagiku. Ucapannya begitu menghibur dan menguatkanku.
“...Di, Tuhan mencintaimu. Ia masih menguji cinta dan kesetiaanmu. Jika ingin bertobat, kamu harus menyangkal dirimu. Meninggalkan keegoisan dan amarahmu. Ia ingin kamu semakin sempurna dalam mengikuti jalan-Nya. Ia punya rencana indah buatmu. Tuhan memilih jalan bagimu, engkau memilih bagaimana menjalaninya...”

1 komentar:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.org

    BalasHapus